Sabtu, 15 Juni 2019

Keluarga Cau Muli (2)


Saya tiga bersaudara. Eh, empat sebetulnya. Karena bapak pernah menikah dan dikarunai anak perempuan : kakak saya tertua. Ibu saya (mamah saya memanggilnya) adalah istri yang ketiga kali nya. Bapak sudah menikah 2 kali sebelum dengan ibu saya. Dengan istri yang kedua, bapak tak dikaruniai putra/i. Karena pernikahannya terbilang singkat --- Begitu cerita Bapak, di suatu waktu di saung balong, sambil menunggu hujan reda.

Bapak dan ibu saya terpaut perbedaan usia 10 tahun. Baru-baru ini saya tau, Bapak lahir di 1956. Lulus SMEA ibu di pinang bapak yang seorang kepala desa, kala itu. Di janjikan akan di kuliahkan, setelah menikah : janji yang kemudian tidak pernah tertepati karena banyak karenanya.

Ini jadi semua tentang bapak. Tapi kali ini saya ingin cerita tentang saudara-saudara. Yang berempat itu.

Agak sulit mendeskripsikan kakak saya yang pertama dari ibu yang berbeda. Disamping dari kecil tidak serumah. Sangat jarang – sebelum dewasa dan menikah – berkunjung ke rumah. Yang jelas pada umumnya, anak dengan kondisi ketidak ajegan keluarga, bisa dipastikan terlunta-lunta kehidupannya. Apalagi kemudian ibunya menikah lagi. Akhirnya kesini tiri, kesitu tiri. Jika dia ceritakan, lebih sangat menarik dari cerita kesusahan saya. Dia hanya lulusan SD (kala itu, kata bapak mau disekolahkan, di tolak sama neneknya), kemudian masuk pesantren, tak lama menikah di usia muda. Lainnya bisa ketebak. Cekcok dan cerai. Fenomena ini masih banyak terjadi di kampung saya. Cepet nikah. Cepet pula cerainya.  Alhamdulilahnya, sekarang dia sudah ajeg berkeluarga dipernikahannya yang kedua. Dengan rekan kerja nya, saat merasai menjadi TKI di Arab Saudi. Dikarunia seorang putri : kelas 2 SD saat ini.

Adik saya yang pertama perempuan, lahir 1994. Lulusan UIN Banten jurusan komunikasi. Sekarang sudah bekerja dan berkeluarga. Dikaruniai seorang putra, baru 4 tahun usianya. Saya merasa dia dewasa sebelum waktunya. Dipaksa untuk memahami kondisi likuiditas keluarga. Dan berpikir bagaimana caranya menyelesaikan studinya, tanpa membebankan orang tua. Dia memutuskan menikah sebelum wisuda. Tapi kemudian cum laude saat wisuda dan sukses. Pada momen ini saya sangat menyesal, tak bisa menghadiri acaranya. Agak aneh memang. Tak ada alasan. Selain karena keruwetan lingkungan pekerjaan -- yang alhamdulilah saat ini sudah saya akhiri, dan mencoba berganti.
Kadang saya tak percaya dia bisa begitu. Mungkin mencontoh. Mungkin pula terjepit kondisi. Dulu, dulu sekali, saat masih kecil, saat masih saya gendong keliling kampung untuk main, nakal nya bukan main. kalo tidak di turuti keinginnya, bisa nangis jerit guling-guling. Yang masih melekat di ingatan, suatu saat, tak bisa dilarang, nginjek lantai keramik milik tetangga, kemudian di usir dengan congkaknya, Kenangan yang agak menyakitkan emang. Saat itu, lantai rumah kami separo tanah dan separo acian tembok.  Dan rumah pun retak-retak akibat gempa yang sering.
Intensitas saya dengan adik yang ini, lumayan tinggi. Setidaknya rentang waktu bayi sampai dia lulus SD. Sebelum kemudian saya kuliah, tak di rumah. dia di kirim ke pesantren modern. Di rangkas bitung. Sampai SMA. Dan kuliah. Di serang : memilih untuk kost, tak ingin merepotkan katanya.
Adik saya yang kedua – bungsu, laki-laki. Saat ini mau masuk SMA. Dia lahir di 2004, saat saya lulus SMA, mau melanjutkan kuliah. Ketemunya menjadi spot – spot. Tak terasa rasanya, bayinya berasa baru kemarin. Sekarang sudah lulus SMP. Bagi si bungsu mungkin tak begitu terasa prihatin nya kehidupan keluarga, setidaknya setelah dia mengerti kehidupan. Walaupun kita, khususnya saya, selalu menerapkan pola prihatin untuk kehidupannya. Yang kemudian saya sadar, bahwa kondisi saat ini berbeda. Tak bisa dipaksakan. Tapi jadi ada efek lain, prestasi di sekolah tak semoncer kakak-kakanya. Bisa dipahami. Pertama karena kurang daya juang. Kedua takkada lagi supervisi dari yang lain. Karena otomatis dia selalu sendirian di rumah. Tapi saya tak ambil pusing. Biarkan dia begitu adanya, menikmati kondisi. Sampai suatu saat mulai dewasa dan tersadarkan. Toh basicnya tetep baik, tak pernah bergaul macam-macam. Saya pun tak ingin mengarahkan begitu dalam. Tapi berharap suatu saat, betul-betul sukses seperti yang dia inginkan.

Adik bungsu ini yang sukses dilahirkan, di rumah yang sekarang di tempati. Tidak pindah-pindah. Seinget saya, kurang lebih 5 kali keluarga kami berganti domisili. Mulai punya rumah gedong di kampung kakek dari bapak. Kemudian pindah ke pinggir jalan utama. Lalu ikut di rumah kakek dari Ibu (pulang dari rutan). Selanjutnya tinggal di Saung kebon -- sendirian. Lalu pindah ke pinggir jalan utama, kampung besar (karena mengandung bayi adik perempuan). Dan terakhir bikin rumah di yang sekarang di tinggali.

Hal ini jadi alasan, mengapa sekarang saya, istri dan anak-anak tetap tinggal di rumah bersubsidi (yang saya beli seminggu sebelum menikah). Bukan karena subsidinya. Dan bukan karena tak sanggup di rumah cluster. Ada traumatic tersendiri, ketika pindah-pindah. Selalu semua dari nol ; lingkungan, dan tetek bengeknya. Sekarang saya memilih nambah satu rumah untuk perluasan, lainnya untuk kantor istri (Notaris dan PPAT) dari pada harus pergi dan berganti-ganti domisili. Entah sampai kapan.
….
cerita flash back ini jadi begitu mengharukan : bagi saya yang sudah lama selalu mengedepankan logika daripada intuisi.
…..
Kenapa Cau muli?

Karena satu-satu penceharian yang nampak adalah kebun pisang muli di belakang rumah. Begitu terkenang, saat anak-anak sekolah,bekelnya nya pun selalu pisang muli. Dikardusin. Di ikat karet ban warna item dan tenteng di mobil elf.
Walau kemudian kebun ini di oper alihkan pemilik, karena di ributkan oleh keluarga dari pihak bapak. Sebetulnya ini bukan satu-satunya yang di permasalahkan. Karena selalu, selalu dan selalu ada semacam kecemburuan. Mengenai keruwetan ini, saya agak enggan menulisnya. Unfaedah rasanya.  Seinget saya, tak pernah ada kebaikan di keluarga kami di mata sodara-sodara. Terutama bapak. Steriotipe ‘tukang menghabiskan pakaya’ sudah melekat. Walau bagaimanapun usaha yang sudah dilakukan. Tak lantas menghilangkan semua dendam dan cercaan. Sampai detik catatan di buat pun. Tak habis rasanya perseteruan yang ada. Tentang ‘pakaya’ dan semua kenorakan nya.
Nauzdubilah…

--
Serang, 15.06.2019

Rabu, 12 Juni 2019

Keluarga Cau Muli (1)


 
cau muli dari kebon belakang rumah

  
 Sudah sejak lama ingin menuliskan ini. Menuliskan tentang keluarga. Walau di cicil, mesti di tuliskan. Sebagai bentuk muhasabah atau petikan kehidupan. Minimal sebagai referensi anak cucu, barangkali tak sempat tersampaikan secara verbal dan utuh.

Baru selesai nonton film keluarga cemara – film baru yang di remark dari serial bersambung tempo dulu. Menginspirasi, terutama pada bagian-bagian kesusahan atau kemelaratan. Tepatnya bukan menginspirasi mungkin. Tapi ikut merasai. Karena kondisi inilah yang melekat pada kondisi periode tumbuh saya. Setidaknya yang melekat dalam ingatan adalah dari SD sampai dengan masa mulai bekerja setelah kuliah. Rentang waktu yang cukup panjang –hampir dalam 20 tahunan selalu dalam kesusahan, ketidakstabilan ekonomi dan ketertekanan sosial, ada bonus nya. Berpenyakitan ! (gynecomnastia di 2 payudara yang melekat semakin membesar dan tak pernah terpikir bagaimana cara menghilangkannya, karena butuh operasi dengan biaya sangatlah besar).

Inget sekarang, jadi syukur Alhamdulilah. Walau cita-cita dan ambisi masih belum tercapai. Tapi secara kebutuhan fisiologis up sudah mulai terpenuhi. Minimal makan sudah mulai bisa milih. Tidak lagi hanya nelan ludah ketika ‘kabita’ dengan menu masakan yang rada wah. Kesehatan pun sudah membaik dan ada jaminan. Sandang, pangan, dan sedikit papan sudah ada dan sudah merasai. Termasuk keluarga di kampung. Berangsur-angsur merasai apa yang dulu hanya di ingini.
Jika jujur, sebetulnya saya bukan keluarga balangsak. Bukan pula miskin struktural. Makan tidak kurang. Pakaian tak pernah compang-camping. Aset tanah ada. Kebun Punya. Jajan selalu ada. Biaya Sekolah selalu tersedia. Latar belakang turunan orang tua berada dari keduanya, plus cukup terpandang dan punya pengaruh. Hanya likuiditas yang selalu limit. Selalu riweuh dan merasa sangat miskin karena untuk memenuhi sesuatu sangatlah sulit dan perlu waktu. Tak pernah tenang dan merasa safe akan sesuatu.

Lantas?? ya kondisi miskin lebih kepada akibat kesalahan pengelolaan. Kesalahan Manajerial. Sekali lagi salah manajemen. Baik manajemen operasional. Manajemen keuangan dan tentu manajemen sumberdaya manusia nya. Kurang kompeten dan berbudaya instan. Tak pernah terpikirkan untuk mengelola dan memenuhi  kebutuhan tingkatan maslow. Lebih banyak kepada ngalir dan instan. Ya saat butuh, baru di usahakan. Itupun untuk kebutuhan yang penting dan mendesak. Bukan kebutuhan yang kadang selalu di sabodokeun.

Mungkin kita bicara lebih teknis. Saya akan jelaskan. Untuk apa? Saya tidak bermaksud menelanjangi aib keluarga sendiri. Tapi ini lebih kepada untuk pelajaran. Barangkali sebetulnya banyak kejadian di Indonesia – sebagai Negara berkembang, keluarga yang bernasib sama. Generasi pertama susah, kemudian dia berjuang untuk “MEMILIKI & MEMENUHI”, generasi kedua (karena masih di mentori oleh generasi pertama), tetap berjuang untuk mempertahankan apa yang dipunyai & dimiliki tapi pada generasi kedua sudah tidak lagi daya juang kesusahan, hanya sifat doktrinasi dari generasi pertama yang memang betul menjalaninya. Tiba pada generasi ketiga, ini yang agak sulit. Yang serba instan. Yang serba di cukupi semua kebutuhan. Dan gampang untuk pemenuhannya. Karena generasi kedua sudah tak lagi terpikir bagaimana susahnya memdapatkan apa yang di punyai dan di miliki tersebut. Sehingga melahirkan etos kerja yang kurang pada generasi ketiga.

Inilah yang terjadi, generasi ketiga mulai di manjakan. Tibalah pada saat menghabiskan apa yang di punyai dan di miliki. Terjadilah kekacauan. Ke semrawutan. Pada titik inilah aspek pengelolaan tak berjalan seperti seharusnya. Dan sayangnya, mungkin karena keterbatasan keluasan pikiran pada periode kemerdekaan ke orde baru dan tinggal di kampong. Generasi pertama dan kedua tidak berpikir untuk membekali dengan pendidikan umum. Atau skenerio yang terjadi lain. Di Paksa untuk berpendidikan umum, sang anak tak pernah serius karena biasa di manjakan. Dan yang lebih ekstrim di jaman itu malah di ajarkan untuk di aspek kejawaraan dan kegagahan bukan aspek pendidikan atau kewirausahaan sehingga bisa di tebak, gagaplah dia akan perkembangan zaman. Kacau. Bingung. Di satu sisi tertuntut untuk menjalani kehidupan, berkeluarga dan berketurunan.

Dan, habislah apa yang dipunyai dan di miliki. Timbulah konflik antar keluarga. Yang di sebabkan oleh rebutan harta benda di genrasi ketiga. Di perparah dengan generasi kedua mati muda. Saat generasi ketiga masih belum jejeg, utuh dan mulai amburadul.

Begitulah…..

Bapak adalah generasi ketiga tersebut. Ibu : bagian lain dari hal yang intinya sama.


--
Serang, 12 juni 2019
-rgs 

#part2 dari 'sabtu bersama bapak', akan dilanjutkan se-inginnya, untuk part berikutnya

Rabu, 05 Juni 2019

Syawal 1440 H

Hari ini bertepatan dengan iedul fitri 1440 H, rabu, 5 juni 2019.
Bagaimana dan dalam kondisi apapun, hari raya membuat bahagia.  Begitu senang.
Walau kondisi saat ini sedang pemulihan, pasca di rawat sakit dbd dan typus. Pentakit yang kemudian menjadi langganan saat full aktifitas atau dalam beban puncak. Baik karena pekerjaan rutin atau hal apapun yang kadang menyita fokus dan tenaga.

Berlebaran hari ini akhirnya di rumah saja. Tidak mudik - baik kemertua atau ke orang tua. Tepatnya belum. Karena biasanya sebelum lebaran, jauh - jauh hari melakukan yang namanya mudik. Agak aneh memang, tapi toh sekarang banyak media komunikasi. Walau silaturahmi langsung tetep tak bisa tergantikan. Setidaknya dengan kemajuan teknologi, minimal komunikasi tetap dilakukan. Anywhere any pun. Hehe....

Nyocol gemblong.

Yes, salah satu tradisi yang tetap dilakukan. Sudah turun temurun. Sudah jadi adat di daerah selatan banten khususnya. Hati raya identik dengan sarapan gemblong dengan di cocol ke kuah daging kerbau. Rasanya maknyos. Luar biasa..


Ah, rasanya ingin banyak yang di tulis. Sambil nunggu istri masak dan anak-anak lagi asyik maen di kamar. Cuma otak rasanya belum sinkron, antara apa yang mau di utarakan dengan apa yang akan di ketikan. Entah karena efek sakit ini, entah karena malas. Tapi betul-betul stuck. Tak bisa mengalir seperti biasa.

Mohon maaf lahir bathin, dari kami sekeluarga.
Tulisan ini cuma untuk penanda, bahwa sekarang lebaran, dan saya masih malas. Lemes.
Itu penting, bagi saya khususnya. Hahaha...