Minggu, 25 Agustus 2019

kuli, kuli, kuli


--
Melanjutkan tentang ‘passion-pasion-an’, untuk referensi anak cucu, rasanya saya pun perlu membahas perjalanan menjadi ‘karyawan’ yang saya lakoni.

Saya menjalani 2 kali – eh 3 kali ding, tapi 2 motif terakhir adalah karena kepenasaran aja. Bukan lagi jalan karir.

Pekerjaan pertama, dilingkungan BUMN, tak perlu disebutkan rasanya,toh sekarang sudah menyusut dan mendekati kebangkrutan, seperti kebiasaannya perusahaan milik Negara: di Indonesia. Posisi terakhir di 2018 sebagai Asmen (level superintendent). Pekerjaan ini memang berkarir dan merupakan cita-cita kedua saya setelah ingin jadi dosen. Karena kerja dilingkungan ini harapan perbaikan kehidupan bisa terjamin.

Setelah lulus kuliah di 2009, saat saya sedang ikut pelatihan pengelasan di BLKI, tiba-tiba di panggil ke kampus untuk ikut program pemagangan di perusahaan tersebut. Satu-satu nya dari jurusan yang dapat rekomendasi untuk turut serta dalam program tersebut.

Sejak dulu memang saya terbiasa aktif, baik internal maupun di lingkungan eksternal. Dan alhamdulilah prestasi akademik pun tak mengecewakan. Dulu memang terstigma bahwa aktifis cenderung.  Sekali lagi alhamdulilah, saya berhasil mematahkan stigma itu.

Sebetulnya sebelum wisuda, saya ditawari untuk jadi dosen kontrak, di jurusan tempat saya kuliah. Sempat bimbang, walau itu cita-cita utama, tapi saat itu saya butuh uang yang bukan sekedar alakadarnya. Saya harus potong kompas, untuk memenuhi kebutuhan dasar si maslow (dan melakukan operasi ginekomnastik yang butuh biaya besar).

Belakangan agak saya sesali, kenapa dulu tak bersabar, toh kemudian bisa sampai juga pada pemenuhan kebutuhan, hanya perlu waktu. Ya, tapi begitulah kehidupan, bukankah kita selalu dihadapkan pada pilihan, dengan segala akibat yang harus ditanggungnya.

Kembali ke pekerjaan pertama.

Tak sampai 6 Bulan saya magang. Dibulan kelima promosi menjadi karyawan tetap. Sebagai engineer dengan level formen, setahun kemudian menjadi supervisor, dan selanjutnya menjadi superintendent. Departemen di mulai dan enginering, kemudian masuk operasional, masuk di pemasaran, sebagai wakil management di Sistem manajemen Mutu ISO 9001 juga OHSAS, selanjutnya masuk ke proyek – berkali2 menjadi project manager (yang terlama dan terbesar adalah proyek pembangunan refractory coke oven plant), dan terakhir sebagai koordinator SDM & umum di Departmen HRD dan Keuangan. Hampir seluruh departemen saya masuki – hanya logistic yang belum terjamah.
Seperti cerita pada umumnya, baik di novel maupun di dunia nyata. 

Karir cemerlang, menimbulkan perselisihan. Penolakan lingkungan di tambah hiasan kesenioran, apalagi perlindungan akan pemasukan dan kenyamanan ‘keharaman’. Komplitnya lagi, ketidaktegasan pada top manajemen. Dengan segala seluk beluknya, akhirnya secara tidak langsung ‘di bedol’ dari perusahaan, sehingga akhirnya tiba pada satu keputusan bulat: Mundur. Pemikiran yang sudah lama saya pikirkan saat di gadang-gadang sebagai satu-satunya calon pemimpin tampuk karyawan yang di jagokan.

Walau kemudian  saat ini perusahaan tersebut mengalami kemunduran. Mendekati kebangkrutan. Tapi sebagai melankolis yang sempurna, cara perlakuan lingkungan yang terlalu barbar, agak susah untuk dilupakan. Tentu setelah merasa totalitas waktu 8 tahun menjadi kuli di perusahaan itu tanpa melirik perusahaan lainya.

Hikmahnya? Entahlah !

Tapi ini yang harus di catat, keluarga haruslah menjadi segalanya.

Seperti yang di bilang di atas, untuk pekerjaan ke dua ketiga, yang paling hanya berjalan tiap 3 bulanan (padahal masa kontrak 1 tahun). Itu hanya sekedar penasaran, karena saat ini melanjutkan s2 di bidang pemasaran, maka perlu lah ambil praktek langsung, bagaimana sebetulnya teori itu di aplikasikan.

Demikian,

----
rgs

Kamis, 08 Agustus 2019

Nur Ghana


Ki-ka (Dede, Aa, Kaka)
Waktu cepat berlalu.
Di pagi, 15 Juli 2019, anak yang pertama masuk SD. Kita (saya dan istri) sepakat, memberikan kesempatan untuk mengecap pendidikan yg ‘ter-baik’ bagi anak-anak, pendidikan umum pun agama. Walau merogoh saku agak dalam.

Kami dikarunia 3 orang anak : Satu  perempuan, dua Laki-laki. 

Si sulung Haura Syiffaa Nur Ghana. 
27 Februari 2013
Yang kedua Sakha Pradipta Nur Ghana.
02 Mei 2016
Dan Yang ketiga Rajendra Arya Nur Ghana.
12 Agustus 2018

Semua lahir di Serang -- normal, tak ada yang dilahirkan di daerah tempat kakek neneknya. Kami tak ingin membuat repot keluarga besar. Saya juga tak ingin mengulang cerita lama. Dimana saya selalu di manjakan, sampai lahir pun 'dipaksa' tidak ditempat tinggal orangtua. Ditambah sudah terlanjur, dari awal menikah kami siapkan sendiri, menjalani rumah tangga sendiri. Kami cukupkan doa dan restu orang tua, tanpa minta bekal materi.
Selanjutnya pun kami ingin mengajari anak-anak mandiri. Tentu tak ada maksud untuk menjauhkan kasih sayang kakek-nenek ke cucunya, yang menurut mitosnya lebih sayang di bandingkan keanaknya sendiri.

Nama belakang sengaja kami pilihkan begitu, bukan berarti itu marga, karena dalam tradisi sunda kidul, tak lazim menggunakannya. Itu hanya sebagai penanda, bahwa ada ikatan keluarga yang di turunkan dari orang tua. Nur diambil dari istri, dan Ghana dari saya (kebetulan bapak menamai anak-anaknya yang dari ibu dengan tambahan Gana Suyatna).

Mengenai nama depan anak-anak : Si sulung memang diambil dari bahasa arab -- ikutan tren milenial. Untuk yang kedua dan ketiga saya ambilkan dari kata sanskerta. Sesuai kesukaan saya. Bukan lagi ikut-ikutan tren. Artinya sama, yang terbaik dan berisi doa-doa.
---
Semoga kami bisa menjaga 3 krucil titipan Yang Maha Kuasa ini.