Alih-alih segera menyelesaikan tesis (walau dikerjakan dipaksa sedikit demi sedikit), malah saya tertarik dengan kajian ini. Memang betul, bahwa keilmuwan yang paling 'menggairahkan' adalah ketika kita menemukan problem langsung dari ilmu tersebut.
Contoh saat ini, saya ikut terlibat dalam salah satu tatanan organisasi di masyarakat (tempat tinggal). Ikut sebagai pengurus di paguyuban sumur artesis (sumur air yang dikelola sendiri oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan modal awalnya dari masyarakat). Mula-mula memang agak jengah. Kenapa demikian? organisasi ini ada duitnya, karena memungut bayaran wajib dari setiap rumah. Dengan adanya uang, pengurus pertama melakukan perkeliruan uang (dalam bentuk apapun). Saya termasuk yang kemudian ikut membenahinya. Di awal dikira cukup sampai disitu. Ternyata saat saya masuk di kepengurusannya, tak sesederhana itu. Ada kelompok lain yang menginginkannya. Saya baru sadar, sebetulnya ini adalah politik praktis di masyarakat, dimana satu kelompok ingin menggulingkan kelompok lain karena rebutan ladang pendapatan; norak!
Ini jadi tak hampir sama dengan perusahaan tempat bekerja pertama. Persis, rebutan posisi yang ujungnya untuk mendapatkan uang. Nyatanya, tidak kecil tidak besar, tidak level atas atau level bawah, sekarang lumrah orang melakukan hal tersebut. Mungkin ini juga akibat keterbukaan informasi yang begitu bebas, disamping nurani yang melemah, dan desakan syahwat keserakahan manusia.
Singkatnya, saya yang coba membenahi, tapi apa lacur, banyak yang memusuhi. Mula-mula kelompok yang ingin menjatuhkan pengurus lama mendekati saya. Tapi, setelah saya masuk, ternyata mereka tidak bisa membonceng, dan disitulah mereka mulai memusuhi.
Memang heran, kenapa ditiap lembaga/organisasi yang saya ikuti, saya selalu terlibat dalam tim 'pembenahan'. Konsekuensinya adalah tim tersebut kecil --hanya segelintir orang, biasanya saya yang punya perananan besarnya-- banyak yang memusuhinya. Perbandingannya selalu lebih besar kelompok lawan dibandingkan kelompok kawan. Selalu lebih besar pro kepentingan kelompok tertentu dibandingkan pro kepentingan bersama dan yang seharusnya.
Tapi ini jadi pengalaman..
Dan saya rasa akan beda penangannya.
Mula-mula memang saya terpancing emosi (hampir sama dengan di tempat kerja dulu). Pasang badan, dan siap maju karena memang saya yang benar. Walau tak seekstrim di kantor yang dulu (sampai buka-bukaan masalah pribadi), tapi ternyata 'adu ego' semacam itu tetap menimbulkan konflik (baik soft maupun semi hard). Selalu ada kasak kusuk dan coba penggalangan kekuatan. Hanya karena mungkin mereka tidak terlalu solid (punya kpentingan sendiri-sendiri) itupun tidak begitu kuat. Dan rata-rata memang kelompok tersebut adalah orang yang kebutuhan fisiologisnya kurang dan orang yang rasa ingin diakui (kebutuhan sosialnya) tinggi. Orang-orang kurang kerjaan dan tidak kreatif tapi ingin mengakali apa yang menurut mereka peluang. norak!
Kembali ke penanganan.
Berdasarkan pengalaman, akhirnya saya tidak mencoba metode konfrontasi. Alih-alih baik, malah nanti banyak musuh di tempat tinggal. Padahal tujuan pulang kerumah sebetulnya adalah untuk istirahat tenang tanpa ada pikiran. Oh iya, sebetulnya awal-awal juga saya tidak tertarik. Tapi, karena satu kelompok terus mendesak untuk turut serta, dan saya rasa logis alasannya (ada perkeliruan uang), maka saya putuskan ikut serta. Bukan tanpa pertimbangan itupun: sudah saya pikirkan matang-matang segala resikonya.
Akhirnya, saya alihkan menjadi bidang kajian.
Apalagi saya sedang berprofesi sebagai pengajar. Saya coba pendekatan lain dengan keilmuwan. Ya, salah satunya baca buku tentang sosiologi ini.
Menarik!
Ternyata semua prediksi di buku itu terbukti. Teori-teori yang dijelaskan, hampir tepat karena saya menjumpainya.
Sebermula dari teori kebutuhan maslow yang kemudian bisa dihubungkan dengan kelas sosial dan terbaca konflik yang akan ditimbulkan.
Kalo lantang di ceritakan, sebetulnya masalah di masyarakat perumahan bersubsidi sebagian besar tidak jauh dari aspek fisiologis (kebutuhan fisiologis yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik : terutama uang). Karena masih berpikir di aspek ini, maka orang-orang tersebut tidak akan malu melakukan hal yang menurut saya norak. Karena bagaimanapun manusia harus bertahan apapaun caranya. Memang nyerempet ke aspek kedua, kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman disini lebih kepada kebutuhan secara psikis yang mengancam kondisi kejiwaan seperti tidak
diejek, tidak direndahkan, tidak stres, dan lain sebagainya (karena mereka sebagian besar tidak mempunyai pekerjaan tetap dan rutin -- tapi habis dengan gaya hidup sekarang, akibat medsos, yang ingin diakui: baik secara fisik maupun secara pemikiran).
Nah, demikian sekilas cerita. Nanti kita lanjutkan, sambil membaca bukunya. Untuk menemukan fakta-fakta menarik berikutnya.
--
Intinya: jika menemukan masalah, jangan cepat patah, carilah referensi untuk menyelesaikannya, referensi bisa buku, guru, atau yang lainnya. Jika mentok, tanyalah hati nurani yang pasti akan selalu menunjukkan tentang kebenaran. Jika hati nurani mentok, berserah dirilah ke Alloh SWT. Karena itu adalah bentuk kesadaran kita sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan di hadapan sang pencipta.
Yakin ada jalan!
(rikigana)