Kami hidup dilingkungan perumahan bersubsidi. Dimana strata sosial nya begitu beragam. Tak heran jika 'keruwetan' nya pun cenderung tinggi.
Perumahan bersubsidi itu bisa semua kalangan bisa menjangkaunya. Yang pendidikan rendah sampai pendidikan tinggi sekalipun. Disamping itu, di indonesia, kadang ada salah kaprah tujuan. Maksud awal perumahan bersubsidi tersebut untuk kalangan menengah kebawah (malah mungkin untuk kalangan bawah), tapi kemudian orang dengan kelas ekonomi tinggipun bisa memilikinya (dengan membeli rumah lebih dari satu menggunakan nama orang lain).
Bayangkan betapa heterogennya lingkungan sosial diperumahan bersubsidi tersebut. Yang orang tidak paham terkadang munculnya ego-ego yang sebagian besar dari faktor ekonomi: Gw kerja dimana, mobil gw berapa, rumah gw ud lantai dua atau belum, dan gw berprofesi sebagai apa. Hal ini lebih banyak dimunculkan pribadi-pribadi untuk merasa unggul dari yang lainnya. Padahal mereka tidak sadar, bahwa yang mereka lakukan adalah ketidakpantasan. Apa hal? Kalo memang dia merasa ego dan mampu, kenapa harus ambil perumahan bersubsidi. Ambilah cluster atau perumahan yang memang khusus kelas atas. Ada nuansa picik dan pinter kodek dari pemikirannya.
Dilain sisi, ada jenis ketiga orang yang tinggal diperumahan bersubsidi. Yaitu orang-orang kampung asli yang dibujuk oleh pengembang, sehingga tanah dia dituker dengan rumah bersubsidi tersebut.
Bayangkan, betapa heterogennya lingkungan tersebut.
Jika ditinjau dari sisi kebersamaan, maka dibandingkan diperkampungan maupun diperkotaan (perumahan cluster), lingkungan perumahan bersubsidi ini serba nanggung. Kebersamaan: banyak orang yang merasa gayanya lebih tinggi dengan yang lain. Kepedulian lingkungan: banyak orang yang gayanya merasa harus individual (karena tinggal diperumahan).
Jadi jangan heran kalo kita masuk keperumahan bersubsidi (khususnya Banten-sesuai pengamatan saya), kesan pertama adalah kumuh dan acak-acakan : pager melampaui selokan ditambah selokannya ditutup dan mampet, parkir mobil didepan rumah dimana jalan hanya bisa dilalui 2 mobil (beli mobil gada parkiran), ruang publik tidak terawat (fasos dan fasum) jadi tempat pembuangan puing dari pembangunan rumah yang tak pernah selesai (selalu ada pembangunan, untuk saingan dengan tetangga dengan melampaui batas subsidi -perubahan bangunan tidak disertai perubahan IMB), ruang kosong dijadikan parkir sembarangan kalau ada tamu.
Itulah fenomena yang ada. Dan ditambah dari sisi SDM terkadang yang menjadi RT dan RW adalah orang-orang yang kompetensinya kurang (sisa dari orang-orang yang tidak terlalu sibuk bekerja). Akhirnya tuntutan dari warga tidak selaras dengan kinerja dari para pejabat RT dan RW. Tapi, mau bagaimana lagi toh juga RT dan RW hanya digaji 500 ribu perbulan itupun keluarnya per 3 bulan. Akhirnya, kadang ini sebagai mata penceharian (bagi yang tidak bekerja) tanpa mengindahkan warga.
Kemudian apa solusinya?
Karena ini agak berat dan harus konsentrasi, solusinya tak lain dan tak bukan adalah edukasi. Edukasi untuk menumbuhkan kesadaran kolektif. Mengkampanyekan hak dan kewajiban sebagai warga dengan pendekatan sosial. Siapa yang melakukan ini?
Pertama RT & RW, kemudian tokoh-tokoh agama/mesjid. Sehingga, penunjukan orang pada posisi tersebut sangat strategis. Tidak boleh asal-asalan. Harus ada orang yang mumpuni secara kepemimpinan, manajerial dan administrative untuk menduduki posisi penting dalam masyarakat perumahan bersubsidi.
Sekilas hampir sama dengan lingkungan lain baik diperkampungan maupun di cluster. Tetapi kalo ditelaah lebih lanjut, diperumahan bersubsidi agak beda: lebih ketat dan harus menunjukan diri untuk mumpuni, agar dipercaya banyak orang yang egonya tinggi. Ini tantangannya lebih tinggi. Kalau diperkampungan, ketokohan seseorang lebih diakui (karena sejarah turunannya), sehingga akan melakukan apapun dituruti, kalau diperumahan subsidi, tidak begitu, karena rata-rata pendatang dan tidak saling mengenal. Kalau diperumahan cluster, sudah saling memahami karena rata-rata homogen dan pendidikan tinggi: cukup disodorkan program yang bisa dipahami dan logis, masyarakatnya akan otomatis mengikuti. Di perumahan bersubsidi, karena random, kadang semua merasa bisa (padahal belum tentu), dan cenderung tidak percaya kepada yang lainnya.
Nah, untuk itu sekali lagi ditekankan untuk mendapatkan SDM pemimpin yang bagus dilingkungan bersubsidi. Untuk leading edukasi, memberikan pemahaman hak fan kewajiban dengan muara kesadaran diri, agar tercipta masyarakat yang madani (beradab).
Beberapa langkah kongkrit si pemimpin tersebut (RT RW) versi saya:
1. Konsolidasi internal (Warga & Perangkat organisasi). Warga: Data seluruh warga, bila perlu didatangi ke setiap rumahnya, ajak komunikasi, jika sudah terkumpul, buat acara semacam sarasehan bersama (baik rt maupun rw). Perangkat organisasi: Cari orang-orang inti yang sepemikiran, taroh orang tersebut di organisasi inti (cari yang mau aktif).
2. Tentukan visi misi dan program kerja: visi dan misi dimapping oleh pemimpin, program kerja dibuat berdasarkan brainstorming saresehan antar warga.
3. Sosialisasi: bisa dilakukan 2 tahapan. Ke setiap warga di RT2 (pertemuan dikoordinir RT), pertemuan keseluruhan (ke RWan - Seluruh warga)
4. Buat grup se RW (telegram) - grup bebas, untuk penyampaian progres proker dan laporan keuangan.
5. Mulai eksekusi: program yang dibuat dicicil untuk dilaksanakan. Program utama: Administrasi (pendataan warga, surat, dll) dan lingkungan (gotong royong, dll).
6. Evaluasi tahunan: selalu adakan pertemuan setiap tahun selama periode kepengurusan.
Ini masih bersifat internal, tahun kedua dan ketiga mulai melebarkan sayap eksternal ke keluarahan dan kedinasan lainnya.
Demikian.
Serang, Des 2021