Hidup dimasyarakat, di lingkungan yang serba nanggung itu, seru-seru ribet.
Lingkungan saya perumahan subsidi. Orang-orangnya serba nanggung, dan banyaknya masih butuh pengakuan (baik secara harta maupun penghargaan). Lingkungannya itu tidak homogen, lebih banyak kompleksitasnya (secara ekonomi maupun pendidikan kemasyarakatan).
Tidak heran, jika segala sesuatunya: Ribet!
Lama paham, dan bahkan yang paham pun ego ingin keliatan keberadaannya.
Yang masih tanda tanya dalam pikiran: Apakah ini terjadi di seluruh perumahan bersubsidi dan kampung? Atau memang dikomplek itu demikian.
Tapi, sepengalaman saya hidup dikampung, fenomenanya hampir sama. Sepengalaman saya tinggal di komplek elit, fenomenanya beda -- lebih banyak cueknya dan masing-masing asal kebutuhan dasar lingkungannya terpenuhi (misal sampah ya tinggal bayar, garibet).
Saya sudah akan 3 tahun pegang pengeloalaan artesis, dan alhamdulilah sudah mulai tertata secara teknis dan manajerial -- sudah cenderung kondusif, tidak rame lagi debat kusir yg tidak berdasar. Alhamdulilah, yang awalnya begitu acak-acakan, penuh penolakan, gontok-gontokan (karena ada uangnya), sekarang sudah terlihat baik sesuai dengan relnya.
Kata kunci penyelesaian adalah dengan sistem; baik sistem manajerial, teknis dan tentu saja leadership.
Nah, tenyata ketika terjun dan membereskan artesis tersebut, saya banyak menemukan, bahwa tidak hanya artesis, tetapi keorganisasisan masyarakat yang lain pun demikian (rt,rw,dkm) -- ada kubu2an, ego-egoan, kepentingan yang sebetulnya sangat kecil dan mendasar untuk diri dan kelompok. Karena tadi tidak ada sistem yang dibangun secara utuh.
Ini berakibat buruk, karena hal yang paling dasar sekalipun, tidak terurus dan ada pembiaran (banyaknya ribut diteknis dan gontok-gontokan). Misal dalam keamanan,ketertiban,keindahan yang semua berkaitan dengan lingkungan hidup, itu tidak jalan atau jalan secara parsial ke rt an. Sehingga, masih banyak ditemukan got mampet, pengangkutan sampah tidak pas, fasum tidak ada yang ngurus, jalan acak-acakan, dll (rw tidak punya peranan kuat dan konsep untuk membereskan hal ini--krisis leadership). Selanjutnya, tentang penanganan kematian dan kuburan, masih belum tersentralisir di ke rwan, sehingga keluarga duka masih menanggung biaya yang sangat besar (padahal ini bisa ditanggung renteng oleh seluruh warga se rw dengan pengelolaan yang baik), belum lagi mengenai posisi penguburan yang asal, sehingga posisi makam acak-acakan, seenake udel untuk posisi.
Berangkat dari hal tersebut, saya buatkan konsep satuan tugas dilingkungan. Satgas merupakan adhoc, adhoc adalah organisasi khusus yang dibentuk untuk bergerak cepat menyelesaikan permasalah sampai suatu saat berjalan dengan baik.
Ada dua satgas yang saya bentuk (dan diusulkan di ke rwan): satgas K3 (yang merupakan pergantian dari satgas covid), dan satgas penanganan duka cita.
Alhamdulilah, masih ada tim yang mau dukung dan menyetujui usulan saya (rt.4 dan ketua rw.16). Untuk satgas K3 karena sudah lebih dulu terbentuk, cenderung berjalan lancar.
penolakan atau keribetan, justru di satgas duka cita, dan datangnya dari beberapa ustadz, dan itu sifatnya tidak prinsip; misal masalah nama, dll yang sangat parsial. Bukan sisi prinsip fiqh misalnya. Jadi, justru ini memperlihatkan adanya ego dan ingin diakunya segelintir orang (ustadz) tersebut. Jadi, seolah berprinsip, kalo bukan ide dari dia itu salah. Yang jadi masalah, sudah terbukti mereka tidak bisa menjalankannya -- buktinya ide dari mereka pengurusan yang katanya harus di dkm, sampai saat ini tidak terealisasi dengan baik. Malah cenderung acak dan abai.
Ini problem!
Dan problemnya ada di orang-orang yang menurut saya oknum yang kadang berlindung di lembaga dan sebutan yang sholeh (dkm dan ustadz). Seolah titahnya merupakan jaminan akherat. Ini membuat jelek citra lembaga dan nama.
Lantas apa yang harus saya lakukan?
Tetap go a head. Jalan. Mungkin akan cape lagi karena harus terjun langsung. Tapi setidaknya tidak sendrian, beda dengan artesis dulu, sekarang sudah ada tim yang dulu juga kurang lebih begini, menolak tapi setelah jalan kemudian mereka baru sadar dan mengamini.
Tantangannya karena dikaitkan dengan agama, ini yang akan lama secara struktural, karena mereka merasa lebih soleh dibandingkan saya-- yang kadang2 ke mesjidnya. 😄
Demikian,
Serang, 14 Mei 2022
*Riki gana