Saat bapak2 gede diibukota ribut tentang kuasa,
Kami dikampung sekeluarga sedang bingung, darimana biaya untuk melanjutkan sakola...
Saat ibu2 gede ribut arisan kuda,
Bapak saya sedang bingung, darimana ongkos untuk anak nya berangkat ke kota, melanjutkan cita-cita...
Saat saya sedang dikosan, makan mie instant yang tak bosan-bosan
Banyak relawan dadakan yg sedang bancakan
Saat dulu saya merenung, memikirkan penyakit yg tak kunjung urung
Di sana, dipusat negara, banyak persona yg pura-pura sedang kena asma
Dan,
Saat kami sekarang sudah beranak dua,
Berita tentang aktifitas korupsi tak juga mereda
- malah merajalele...*eh lela..
-------------------------
serang, Oktober 2017
Jumat, 13 Oktober 2017
Senin, 06 Februari 2017
Sabtu Bersama Bapak
Saya begitu suka dengan lagu
sunda dan budaya-budayanya. Jaipongan pop sunda calung dll mengingat ini, jadi
bernostalgia. Dan… mari bercerita tentang keluarga, khususnya bapak. Karena
dari beliau lah saya terisme budaya sunda.
Dalam rentang umur yang sudah cukup tua ; saat ini menginjak 60. Bapak saya begitu banyak dan berliku
perjalanan hidupnya. Memang, lahir dari keluarga jawara kidul, di banten
selatan, dengan harta yang pada saat itu melimpah dan ditambah dengan posisi
sebagai anak laki-laki pertama membuat beliau menjadi prioritas Bapak dan
kakeknya. Pada umumnya di wilayah kidul kala itu budaya patnerialistik memang
sangat kental. Ibu tak banyak berperan, hanya harus tunduk pada apa yang digariskan
oleh kaum bapak.
Menurut cerita, dari nenek (saya menyebutnya YOYO) dan saudara-saudaranya dan penuturan bapak sendiri. Memang bapak sudah di arahkan untuk jadi jagoan (jawara, red). Dari kecil sudah diajarkan sebangsa ilmu kanuragan, cimande, lengkap dengan jampe ritual dan hal sebagainya yang mengarah pada apa yg di namakan jawara kala itu. Tak heran jika di usia antara sekolah dasar dan menegah pertama, dia sudah mahir bela diri cimande. Saat SMA, bapak tak pernah luput dari adu jago dengan lawan-lawannya. Akhirnya sekolah tak tertamatkan. Pindah dari satu sekolah ke sekolah lain, dengan alasan yang sama, Gelut!. Sekolah terakhir yang dia sambangi adalah sekolah Pertanian di Serang (SPMA) dan itupun hanya sampai kelas 2, berakhir karena perkelahian serius dan ujung-ujungnya dikejar polisi akibat lawannya hampir isdet.
Bapak lahir dan besar di awal era-era kemerdekan, dimana masih euphoria dan bangga dengan pidato bung karno yang meluap-luap. Saya tidak tau persis nya taun berapa. Disamping ijasah nya tak pernah terawat dengan baik, saya pun selalu lupa kalo bapak cerita tentang tahun kelahirannya. Yang pasti di kemudian hari, saat saya kecil, beliau selalu mengajarkan cara-cara memimpin yang ‘harus’ berkharisma, penuh wibawa, banyak pengikut, gagah, rapih, dan saat bicara/pidato membangkitkan semangat! Pokonya jangan sampai saat kita bicara, ada orang lain yang bicara. Harus jempling, hanya suara kita yg didengarkan. Luar Biasa bukan. Dan itu dia praktekan, dan itu berhasil buat bapak, dan itu ada JAMPE nya.hehe…
Terbukti memang, diusia muda
(sekali lagi saya tak terlalu detail berapa dia kala itu), selepas dia terusir
dari sekolah dan kembali ke kampong ciedes. Kemudian dia nyalon jaro (kepala
desa yang dipilih langsung oleh rakyat). Dan ajaib, entah kebetulan, entah
karena saat itu kakek yang paling berpengaruh, dia berhasil terpilih jaro,
dengan mengalahkan telak lawan-lawannya yang senior. Menghancurkan mitos dan
menggemparkan karena dia adalah Jaro termuda diantara yang lainnya kala itu.
Dimana dulu, belum tercipta dan terbiasa dengan kepemimpinan anak muda. Seperti yang kita tau, saat
orba berkuasa, senioritas adalah yang utama.
Kepemimpinannya brilian,
mendobrak dan cukup berhasil. Suatu waktu saya tanya, ko bisa mendapatkan
ide-ide cemerlang seperti itu. Masa itu kan informasi sangat sulit. Boro-boro
mbah gugel, tv radio pun masih sangat
terbatas. Buku? Saya tau bapak bukan orang yang senang baca buku. Dia jawab
simple, Pergaulan!. Memang dalam hal ini patut di acungi jempol, bapak punya
kelebihan, pandai bergaul (supel) dengan siapa saja, tua, muda, cowo, cewe. Dia
begitu mudah untuk masuk dalam suatu kaum, baik jawara, santri, pemerintahan
dan lain-lain. Selalu saja ada topik untuk memulai pembicaraan, dan semua yang
ngobrol menjadi nyambung dan membuat nyaman lawan bicara. Hampir-hampir kalo
mengobrol menghabiskan semalam suntuk, padahal lawan bicara orang baru atau
orang yang tak biasa ngobrol lama-lama. Rasanya memang ini sudah anugrah untuk
dirinya sendiri. Sebab, yang lain- sodara kakek nenek dll termasuk anak-anaknya
seperti saya, tak mahir dalam hal ini. Bapak selalu cepat adaptif dengan
lingkungan baru, saya orang yang sulit untuk menghadapi lingkungan yang tidak status quo.
Bicara bapak, memang tak ada
habisnya, ceritanya begitu banyak dan naik turun, ibarat cerita epic dari
seorang pengembara. Beda dengan saya, lebih monoton (yang kata orang terarah
dan teratur), hidup saya dihabiskan di sekolah, mengejar prestasi bagus, kemudian
lulus, bekerja, menikah, dan ya lurus-lurus saja. Tapi ternyata ada satu lagi
pelajar dari bapak. Suatu waktu dalam keadaan setengah malam, di saung kebun
(karena saat itu kita sekeluarga tinggal disana), bapak bicara bahwa di balik
semua KEHEBATAN dan kesenangan masa muda nya, dia menyesal
semenyesal-menyesalnya, karena dia mengabaikan Sekolah, mengabaikan ilmu,
mengabaikan .. iya mengabaikan, karena belum genap bapak menyelesaikan masa
bakti menjadi jaro (dulu masanya 8 tahun), bapak tertipu tepatnya di tipu, yang
berujung pada meja hijau dan berujung pada jeruji besi. Saat itu katanya saya
baru berumur 4 atau 5 tahun. Bapak terkena kasus sehingga berujung 3 bulan di
Penjara Rangkas Bitung. Saya tidak tau persis, apa masalah atau kasusnya saat
itu, bapak hanya menyebutkan bahwa dia tidak begitu paham tentang satu dokumen
yang dia tanda tangan tersebut, ini akibat terlalu percaya pada orang dan
akibat buta hukum, yang kemudian dia sadari akan suatu
kebodohan, Tak berilmu, Tak berotak!
Selepas keluar penjara, bapak dan
keluarga di kucilkan oleh masyarakat, walau sebagian orang yang paham dapat
menerimanya. Persepsi masyarakat umum kala itu tetap sama, antara pembunuh,
perampok, dan penjahat kerah putih pun sama. Bahwa mereka PENJAHAT dan harus
dijauhi. Begitu kira-kira.
Mulai saat itulah babak hidup
saya dimulai, babak hidup yang 180 derajat berbeda dengan bapak, berbeda saat
kakek membesarkan bapak.
……………………………………
Dari hati terdalam, walau memang
sering beda pola pikiran dengan bapak, saya begitu menghargainya, saya banyak
belajar dari beliau dari sisi kepemimpinan, keluwesan dan pengetahuan akan
dunia pergaulan pada umumnya.
# Cilegon,
20 januari s.d 6 februari 2017
(menulis diwaktu senggang istirahat kantor)
#part1, entah kapan part selanjutnya…
Jumat, 06 Januari 2017
Pengakuan
Sekali ini kita akan memulai lembar baru blog,
Sayang memang seperti kebanyakan
orang-orang lainnya, kadang saya begitu latah untuk membuat pernyataan atau
kata: KITA, seolah-olah sangat perlu didukung eksistensinya, sehingga tidak
terbiasa langsung bilang “saya”.
Sebetulnya saya sudah punya blog,
tapi pada blog yang itu, rasanya belum mewakili keadaan sesungguhnya dari apa
yang ada dan apa yang ingin diungkapkan dalam tulisan, atau tepatnya pemikiran
yang mungkin orang bilang sederhana.
Pada blog ini saya ingin melihat
dengan jujur tulisan asli saya, tanpa editing, tanpa embel-embel harus terlihat
bagus oleh orang. Menikmati proses pertumbuhan, loncatan pemikiran dari satu
tulisan ke tulisan lain, kekacauan satu ke kekacauan satunya lagi atau bisa jadi
ke –absurd satu ke absurdan lainnya.
Saya suka sejarah, saya suka potret
kehidupan apa adanya, merasai ketertindasan, tak heran jika memang akhirnya
saya terinspirasi dan menyukai karya-karya semisal Pramudya Ananata Toer, dan
kemudian untuk generasi sekarang adalah eka kurniawan. Apa yg disebut aliran realism
pada akhirnya saya pun menyukainya. Entah karena kejujuran, entah karena saya
sering merasakan apa yang diceritakan, sehingga terasa begitu dekat dan terasa
mudah untuk di cerna karya-karya tersebut.
Dan terakhir, inilah yang selalu
terjadi setiap menulis, pada saya. Kebingungan akan judul tulisan. Ini terjadi
mungkin karena tidak seperti yang lain, yang diajari bagaimana menyusun sebuah
tulisan. Saya menulis lebih karena hobi, sekedar memindahkan apa yang ada
dikepala, apa yang menjadi keresahan- saat ini, mengurangi beban rasa, dan satu
lagi- saya enggan untuk berguru, seserius-riusnya.
Hehe,,,
Cilegon, 6 Januari 2017
Langganan:
Postingan (Atom)