Banten adalah sebuah wilayah yang dikenal memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Banten juga dikenal sebagai wilayah yang religius dengan pengaruh keislaman yang sangat besar. Hal ini tidak lain adalah karena adanya peran ulama-ulama yang menyebarkan agama Islam di Banten.
Ulama merupakan suatu elit yang mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Islam. Ulama yang sering juga disebut kiai (atau abuya dalam tingkatan tertentu) menjadi salah satu elit strategis dan merupakan figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang ajaran Islam. Tidak mengherankan jika ulama kemudian menjadi sumber legimitasi dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sangatlah menentukan.
Peran ulama dimasyarakat Banten tidak hanya dalam urusan agama saja, melainkan juga dalam ranah sosial dan politik. Sebagai tokoh agama, ulama biasanya bertindak sebagai pemimpin dalam aktifitas ibadah seperti shalat, khutbah, dan do’a dalam upacara-upacara keagamaan seperti tahlilan dan slametan dan lain sebagainya. Sebagai pelayan sosial, seringkali mereka bertindak sebagai tumpuan tempat masyarakat bertanya dan meminta nasihat mengenai berbagai persoalan, bahkan seringkali berperan sebagai tenaga medis, tempat meminta layanan penyembuhan berbagai penyakit lewat kekuatan supranatural atau magis yang mereka miliki. Sedangkan dalam dunia politik, mereka melakukan perannya yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara umum, baik melalui partai politik langsung atau tidak langsung, organisasi-organisasi politik maupun lewat saluran-saluran lain yang bisa dilakukan.
Abuya Dimyathi (1920-2003) merupakan salah satu ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, Kabupaten Pandeglang.
Sejak era penjajahan maupun awal kemerdekaan, Abuya Dimyathi adalah sosok yang gigih dan tanpa pamrih dalam berjuang. Tercatat abuya dimyathi pernah tergabung sebagai intelejen/mata-mata pada Front Tanagara (Tanagara merupakan nama daerah di cadasari, Pandeglang, banten). HM.Murtadhlo (anak kedua abuya Dimyathi) dalam buku “manaqib abuya cidahu’ menuturkan, abuya Dimyathi adalah orang yang mempunyai jiwa nasionalis dan patriotis yang tinggi, tak diragukan lagi cintanya akan Negara dan bangsa Indonesia, sampai sebelum wafat beliau sempat melantunkan lagu-lagu kebangsaan dan lagu perjuangan Negara republik indonesia.
Pada masa orde baru, menjelang pemilu 1977 ada peristiwa menarik yang melibatkan peran serta Abuya Dimyathi sebagai ulama di Pandeglang.
Pemilu 1977 merupakan ajang pemilihan umum kedua setelah sebelumnya dilakukan pada 1971 yang dimenangkan telak oleh Golkar (memantapkan posisi Soeharto sebagai presiden). Catatan sejarah penting dalam penyelenggaraan “pesta demokrasi” ini, adalah peleburan atau fusi partai politik (parpol) peserta pemilu. Pada pemilu 1971, terdapat 9 parpol dan 1 organisasi masyarakat (ormas) yang menjadi kontestan. Kemudian menjelang pemilu 1977 di fusi menjadi 3 kelompok.
Kelompok pertama (terhitung sejak 5 Januari 1973) adalah partai-partai politik berideologi Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI yang melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua adalah kelompok nasionalis, plus dua partai agama non-Islam, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik yang melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terhitung sejak 10 Januari 1973. Di tengah-tengah dua kelompok itu, Golkar (tetap berstatus sebagai organisasi masyarakat) menjadi kelompok ketiga dan merupakan kendaraan politik Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan (tirto,id).
Golkar menjelang pemilu 1977 melakukan intimidasi terhadap masyarakat Pandeglang (langsung maupun tidak langsung untuk memilih Golkar). Abuya Dimyathi selaku tokoh masyarakat merasakan ketidakadilan dalam hal ini. Melalui sikap kritisnya, Abuya Dimyathi menolak dengan mengatakan “Golkar bukanlah pemerintah, Golkar adalah peserta pemilu seperti PPP dan PDI. Jadi, tidak ada keharusan dari masyarakat Pandeglang untuk selalu memilih Golkar.”
Akibat perlawanannya tersebut, dalam historia.id, Hendra Tri Anggoro menyebut Abuya Dimyathi pun dianggap pemberontak, bahkan lebih ekstrim lagi dilabeli PKI. Abuya Dimyathi pun kemudian ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang. Beliau divonis hukuman 6 tahun penjara di LP Pandeglang, meskipun kemudian beliau hanya menjalani hukuman selama 3 bulan 20 hari (karena santri dan jawara bersama masyarakat turun ke jalan untuk membebaskan Abuya Dimyathi. Saat itu digambarkan jalanan utama Kota Pandeglang, Banten, Jawa Barat, penuh dengan massa).
Juhdi Syarif, pengajar Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, seperti dikutip dalam historia.id menyimpulkan dalam disertasinya bahwa sebetulnya Abuya Dimyathi tidak berniat untuk melawan hegemoni orde baru, hanya berupaya menjernihkan persoalan seputar pemilu di masyarakat (karena ini menyangkut umat). Abuya Dimyathi bukan salah satu pendukung partai politik ataupun Golkar. Sebagai ulama, beliau menghindari politik praktis. Beliau tidak mengarahkan masyarakat harus memilih Golkar, PPP, ataupun PDI.
Menelaah paparan diatas, rasanya perlu penggalian lebih jauh tentang sepak terjang Abuya Dimyathi dalam peristiwa pemilu 1977 di Pandeglang tersebut. Apa yang membuat beliau begitu berani? Kegaliban saat itu, ulama cenderung bersikap kooperatif terhadap Pemerintah, bahkan di era awal-awal kemerdekaan (1945-1947), yang menjadi Bupati pandeglang adalah Abuya Abdul Halim Kadu Peusing, yang juga merupakan Guru dari mendiang Abuya Dimyathi.
wallahu a'lam…..
--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
Riki Gana
Komunitas Sajarah Banten
-----
Daftar Sumber (bibliografi)
· https://historia.id/politik/articles diakses juni 2021
· Faridl, M. (2003). Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia. Jurnal Mimbar. Vol. 19, No. 2, pp. 195-202.
· HM.Murtadlo Dimyathi (2008). Manaqib Abuya Cidahu Dalam Pesona Langkah di dua Alam. Pandeglang: NP
· Karomani. (2005). Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara di Menes Banten Selatan. Jurnal Mediator. Vol. 6, No. 2, pp. 228-235
· Juhdi Syarif (2018), Sikap Politik Abuya Dimyati Terhadap Kebijakan Pemerintah Orde Baru : kasus pemilu 1977 di Pandeglang Banten”. FIB UI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar