Rumus jadi pahlawan itu sederhana: berbuat spektakuler (kebaikan), dan kemudian menghilang. Niscaya hal tersebut menjadi kenangan. Jika impact-nya besar, tentu pengakuannya semakin besar. Kenangannya akan melekat, dan semakin lama semakin banyak bumbunya.
Itu kalo tujuannya 'pengakuan,' bukan dasar keikhlasan. Aroma transaksional akan muncul, saat masih dalam tahap perencanaan sekalipun.
Beda dengan yang mempunyai tujuan: Pengabdian -- Bukan pengabdian yang berkedok. Pengabdian sebagai salah satu bentuk aktualisasi diri. Kepuasan didapat justru bukan karena pengakuan. Tapi, lebih kepada ketepatan pengaplikasian. Dia tidak butuh dielu-elukan (diaku), dia tidak butuh kembalian, yang dia butuhkan... ya, apa, ya? Kadang-kadang juga tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Dan tak perlu juga diumbar dalam kalimat.
Kapan orang akan sampai ditahap ini? Secara teoritis, menurut Maslow, setelah melewati hierarki kebutuhan ini: Fisiologi, rasa aman, kasih sayang, penghargaan dan aktualisasi diri.
Sederhananya: "lamun anak ceurik diimah hayang jajan, token listrik nganut-nut, imahna masih ngontrak, ku pinjol dibeberik, tapi sibuk wara-wiri supaya diaku jadi pahlawan, itu adalah hil yang mustahal."
Lho, terus gimana dengan orang yang memang hobinya mengabdi, tanpa mengikuti kaidah tahapan ini? Sah-sah aja. Itu kan hanya gambaran. Tapi, disadari atau tidak, sebagai manusia, si seseorang itu, akan tetap goyang, tidak ajeg, dan riweuh: terutama dari sisi psikologis --mudah frustasi salah satu contohnya, sensitif dan merasa tidak diakui, itu bagian selanjutnya.
Nah, di zaman sekarang yang banyak opsi ini. Anda boleh memilih, mau jadi apa aja silakan. Pahlawan mangga, penjahat pun mangga. Tapi, jangan sampai mendikte, apalagi memaksakan orang, untuk mengakui anda, dengan dalih apapun, dengan cara apapun (disengaja ataupun tidak).
Mari kita bersikap: sahayuna!
.
Nb: diangkat berdasarkan kisah nyata. 😀
--
(Rikigana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar