Budaya literasi memang mutlak dibutuhkan. Tapi yang dimaksud literasi disini bukan hanya baca tok. Lebih jauh lagi yaitu mampu memahami apa yang dibaca, mampu mensintesa (menilai baik buruknya), dan memilih bagaimana untuk mengaplikasikannya.
Beruntungnya sudah S2 mungkin disini, dimana pola pikir diarahkan kepada yang lebih holistik. Tidak bercabang-cabang dan sempit. Sebetulnya saya dari dulu sudah berpikir seperti itu, tapi orang selalu menilai bahwa saya terlalu melebar. Tidak fokus. Padahal hal tersebut merupakan bagian dari keluasan pikiran; yang orang2 tersebut tidak mengetahuinya (bahkan sekelas profesor tidak mau mengakuinya, karena keegoannya -- dia hanya ahli dalam bidang tertentu, saat diajak berpikir besar dan holistik maah menyalahkan ; dasar perempuan. Hehe...)
Setelah saya menyelesaikan S2, baru timbul rasa percaya diri. Bahwa yang saya lakukan tidak salah, justru malah bagus. Orang dengan literasi banyak akan berpengetahuan luas -- tp mungkin yang harus diimbangi adalah kebijaksanaannya. Termasuk cara dan saat kapan juga dengan siapa kita bicara.
Wah, jadi panjang ya cerita nya.
Intinya, sejauh ini saya baru tau dan mendapatkan informasi utuh. Bahwa cina yang selalu di cap komunis bagi sebagian orang, sebetulnya punya rangkaian sejarah panjang s.d berjaya saat ini. Banyak orang tidak tau dan selalu mengidentikan dengan komunis. Padahal sebetulnya itu perkembangan dari percobaan sistem yang negara tersebut pilih.
Secara garis besar cina pernah bersistem kekaisaran (dinasti qing terakhir), kemudian berganti dengan republik nasionalis (dr.sun yat sen), kemudian baru komunis (mao zedong), dan komunis baru- titik point kebangkitan ekonomi (deng xioping).
Luar biasa.
Ini menunjukkan bahwa bernegara dan berideologi itu pilihan. Dan tentu kecocokan. Tidak ada yang sempurna. Bahkan mungkin sistem khilafah islam sekalipun. Semua tergantung konsensus rakyatnya, dan penyesuaian dengan lingkungan budayanya.
(Rikigana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar