[Catatan Juma'ahan (2)]
Saya terlambat. Gegara coba 'hunting' mesjid (disekitaran tempat kegiatan) yang belum pernah disambangi. Jum'atan sudah memasuki sesi khotbah. Tapi belum lama. Masih kebagian jatah untuk mendengarkan. Temanya tentang sesuatu yang lagi 'happening' : omicron.
Arahnya memang kebaca, pembicaraannya persis dengan topik yang seliweran di medsos -- ada apa dibalik isu omicron dan kenapa virus ini kembali 'massive' saat mendekati ramadhan. Terlepas dari isinya, saya mengapresiasi khotib, beliau sudah menyampaikan sesuatu yang 'relate' dengan isu umat hari ini (tidak sekedar surga, neraka, halal, haram). Walaupun, tetap sajkesan yang tersampaikan justru skeptis (baca: nyinyir) akan keadaan; tidak ada informasi baru yang mencerahkan.
Hanya....
Dipikir-pikir, betul juga. Kondisi saat ini sungguh kebetulan yang 'membagongkan'. Memuluskan praduga yang dilontarkan; mempertebal keyakinan terhadap opini publik kelas bawah. Prediksi di tivi pagi tadi, perkiraan puncak omicron terjadi di maret-april 2022. Kok bisa? Itukan momen ramadhan dan idul fitri. Loh kok?! Omicron kan tidak datang tiba-tiba, sudah ada info jauh-jauh hari. Omicron juga melewati hari-hari besar lainnya. Kenapa tidak ada antisipasi! Kenapa tidak dikendalikan dengan mulus! Sehingga tidak perlu lagi repot ada 'puncak-puncakan'! Tidak perlu memberikan celah untuk kelompok tertentu memanfaatkan momen (yang dikaitkan dengan isu agama dan sosial -- drama pelarangan mudik)! Bukannya pemerintah sudah terbiasa menangani covid! Bukannya vaksin diyakini menciptakan 'herd imunity'! Loh kok? Jangan-jangan betul kata teori konspirasi! Betul juga yang dikatakan khotib tadi! Loh kok? Kok saya jadi 'esmosi,' ya. Wkwkwk....
Baiklah, saya mencoba bijak, bahwa negara sebesar Indonesia tentu tidak mudah me-manage-nya. Jangankan negara, di lingkungan masyarakat kecil saja begitu; dilingkungan rumah (bersubsidi), saya terlibat di mesjid, rt dan rw. Terbukti masih banyak biasnya daripada 'smooth'nya. Apalagi diera kebebasan internet saat ini (kemampuan literasi tidak sebanding dengan kecepatan informasi). Tentu, kita jangan samakan Indonesia dengan negara komunis yang kuat --dengan satu komando satu perbuatannya. Jangan juga samakan dengan negara liberal yang kuat --dengan menyerahkan semua pada kebebasan yang bertanggung jawab ('well educated'). Tidak 'aple-to-apple'. Dalam penanganan covid ini, rantai komando kita lebar dimana-mana. Pun perlu kita sadari, dalam teori manajemen, setan itu selalu didetail pelaksanaan. Konsep bagus, rantai komando lemah, niscaya jauh panggang daripada api.
Nah, terus apa yang perlu kita lakukan? Bersikaplah secukupnya! Jangan berlebihan. Selow-selow saja. Biarkan kondisi diluar rame. Kita mah 'enjoy-enjoy' saja. Kalo kata 'paman' dibaduy mah, kunci terhindar dari covid itu sederhana: "dahar seubeuh, imah pageuh, usaha ngeureuyeuh, pamikiran ulah riweuh, jeung pastikeun pamajikan kudu reuneuh!" 😀
__
Serang, 4 Feb 2022
Riki Gana Suyatna
Tidak ada komentar:
Posting Komentar