--
Melanjutkan tentang ‘passion-pasion-an’, untuk referensi anak cucu, rasanya saya pun perlu
membahas perjalanan menjadi ‘karyawan’ yang saya lakoni.
Saya menjalani 2 kali – eh 3 kali ding, tapi 2
motif terakhir adalah karena kepenasaran aja. Bukan lagi jalan karir.
Pekerjaan pertama, dilingkungan BUMN, tak perlu
disebutkan rasanya,toh sekarang sudah menyusut dan mendekati kebangkrutan,
seperti kebiasaannya perusahaan milik Negara: di Indonesia. Posisi terakhir di 2018
sebagai Asmen (level superintendent). Pekerjaan ini memang berkarir dan
merupakan cita-cita kedua saya setelah ingin jadi dosen. Karena kerja
dilingkungan ini harapan perbaikan kehidupan bisa terjamin.
Setelah lulus kuliah di 2009, saat saya sedang
ikut pelatihan pengelasan di BLKI, tiba-tiba di panggil ke kampus untuk ikut
program pemagangan di perusahaan tersebut. Satu-satu nya dari jurusan yang
dapat rekomendasi untuk turut serta dalam program tersebut.
Sejak dulu memang saya terbiasa aktif, baik
internal maupun di lingkungan eksternal. Dan alhamdulilah prestasi akademik pun
tak mengecewakan. Dulu memang terstigma bahwa aktifis cenderung. Sekali lagi alhamdulilah, saya berhasil mematahkan
stigma itu.
Sebetulnya sebelum wisuda, saya ditawari untuk
jadi dosen kontrak, di jurusan tempat saya kuliah. Sempat bimbang, walau itu
cita-cita utama, tapi saat itu saya butuh uang yang bukan sekedar alakadarnya.
Saya harus potong kompas, untuk memenuhi kebutuhan dasar si maslow (dan
melakukan operasi ginekomnastik yang butuh biaya besar).
Belakangan agak saya sesali, kenapa dulu tak
bersabar, toh kemudian bisa sampai juga pada pemenuhan kebutuhan, hanya perlu
waktu. Ya, tapi begitulah kehidupan, bukankah kita selalu dihadapkan pada
pilihan, dengan segala akibat yang harus ditanggungnya.
Kembali ke pekerjaan pertama.
Tak sampai 6 Bulan saya magang. Dibulan kelima promosi
menjadi karyawan tetap. Sebagai engineer dengan level formen, setahun kemudian
menjadi supervisor, dan selanjutnya menjadi superintendent. Departemen di mulai
dan enginering, kemudian masuk operasional, masuk di pemasaran, sebagai wakil
management di Sistem manajemen Mutu ISO 9001 juga OHSAS, selanjutnya masuk ke
proyek – berkali2 menjadi project manager (yang terlama dan terbesar adalah
proyek pembangunan refractory coke oven plant), dan terakhir sebagai koordinator
SDM & umum di Departmen HRD dan Keuangan. Hampir seluruh departemen saya masuki
– hanya logistic yang belum terjamah.
Seperti cerita pada umumnya, baik di novel maupun
di dunia nyata.
Karir cemerlang, menimbulkan perselisihan. Penolakan lingkungan
di tambah hiasan kesenioran, apalagi perlindungan akan pemasukan dan kenyamanan
‘keharaman’. Komplitnya lagi, ketidaktegasan pada top manajemen. Dengan segala
seluk beluknya, akhirnya secara tidak langsung ‘di bedol’ dari perusahaan,
sehingga akhirnya tiba pada satu keputusan bulat: Mundur. Pemikiran yang sudah
lama saya pikirkan saat di gadang-gadang sebagai satu-satunya calon pemimpin
tampuk karyawan yang di jagokan.
Walau kemudian saat ini perusahaan tersebut mengalami kemunduran.
Mendekati kebangkrutan. Tapi sebagai melankolis yang sempurna, cara perlakuan
lingkungan yang terlalu barbar, agak susah untuk dilupakan. Tentu setelah
merasa totalitas waktu 8 tahun menjadi kuli di perusahaan itu tanpa melirik
perusahaan lainya.
Hikmahnya? Entahlah !
Tapi ini yang harus di catat, keluarga haruslah
menjadi segalanya.
Seperti yang di bilang di atas, untuk pekerjaan
ke dua ketiga, yang paling hanya berjalan tiap 3 bulanan (padahal masa kontrak 1
tahun). Itu hanya sekedar penasaran, karena saat ini melanjutkan s2 di bidang
pemasaran, maka perlu lah ambil praktek langsung, bagaimana sebetulnya teori
itu di aplikasikan.
Demikian,
----
rgs