Saat saya di kampung -- waktu kecil s.d SMA -- tak banyak fasilitas teknologi. Hape belum ada, apalagi yang benrbentuk samrt phone kayak sekarang, tivi punya tapi selalu rusak, renyek - walau antene sudah dipasang menjulang tinggi berpuluh-puluh meter. Yang ada radio, dengan satu-satunya stasion radio yang ada, GBS Malingping (saat ini sudah gulung tikar), dan tentu pilihan terakhir adalah buku.
Jadi mungkin ini juga alasan saya menyukai buku. Apapun buku di lahap. Kenapa? karena bukupun terbatas, takada pilihan. Tidak ada perpustakaan umum di daerah malingping. Ada perpustakaan sekolah tapi itu pun tak pernah bisa untuk pinjem, entah kenapa. Selalu menjadi abrang mewah, dan selalu identik penjaganya dalah ibu-ibu yang jutek, yang harus selalu tertib sehingga rutinitas mengunjungi perpusatakaan sekolah adalah rutinitas yang serem-serem senang. Serem karena selalu dijutekin penjaganya, senang karena bisa baca buku berlama-lama.
Kebetulan saya tak sering apel malam minggu. Pertama karena rumah jauh dari pusat keramaian kota, terpencil, kedua karena tak punya kendaraan. Jadi, tak ada jalan-jalan pacaran dengan sang kekasih. Satu-satunya pacaran adalah saat-saat di sekolah (SMA), itupun berkegiatan sambil pacaran. Ikut osis, pramuka, dll bareng-bareng. Dan yang disebut pacaran adalah cuma jalan bareng berdua, ngobrol ngaler ngidul.
Lantas apa yang dilakukan malam minggu? Lagi-lagi baca buku, sambil mendengarkan radio. Kemudian berkembang menjadi tulis-menulis. Disamping tren pada saat tersebut, menulis diari adalah rutinitas kesenangan tersendiri. Apa saja ditulis, menggunakan tulisan tangan tentunya. mencurahkan semua gejolah dan keadaan diri. Ditemani radio yang kadang-kadang mendendangkan lagu iwan fals. Sesekali membaca puisi, penyiarnya, diiringi musik melankolis. Akhirnya saya ikut-ikutan menulis puisi (dalam diari), yang kemudian menjadi hobi tersendiri sampai di tempel di mading sekolah (SMA). dengan kode tersendiri -- telapak kaki.
Dari mana inspirasi puisi dan sastra tersebut? lagi-lagi buku! Karena majalah di perpustakaan SMA banyak yang berbau sastra, maka saya senang membacainya, sebut saja horison. Saya tak pernah absen untuk tidak membacanya, walaupun sebetulnya itu edisi2 terdahulu, yang tak pernah ada yang baca. kenapa ya, lagi-lagi kunjungan ke perpus itu menjadi seolah-olah sesuatu yang norak dan luar biasa (pada zaman di SMA malingping dulu). Kadang di cemooh dan di buli, karena tak sesuai dengan jati diri kebanyakan anak SMA orang malingping -- nongkrong dikantin, atau kongkow dengan genk seekstrakurikuler, anak paskibra dan anak basket terkenal waktu itu, atau gabung sama anak badung, bolos dan ngeroko diwarung depan sekolah (seolah menunjukkan sisi ke gentelmenan seorang siswa).
Nah, sekarang, disaat semua fasilitas sudah ada (buku, internet 24 jam, tv, radio, tape, smart phone) malah kadang kebingungan. Mana yang harus dilakukan? Banyaknya smartphone, hampir 90% aktifitas selalu menempel di alat ini. Apalgi saat-saat lockdown seperti ini. Lainnya, malah jadi bingung dan kayak kateuhak, buku hanya dibawa, berencana untuk dibaca. Tipi dinyalain tidak di tonton, dan radio tak pernah dinyalakan.
Jadi, ada yang hilang dari datangnya teknologi, atau kita yang tak bisa adaptasi??
Begitulah yang terjadi, sekalian saya mencoba belajar untuk membuat kalimat penutup yang menarik.
(rikigana)