Catatan Juma'ahan (1)
Saya termasuk orang yang suka bicara depan publik dengan lantang. Dengan diksi yang jelas-tuntas. Tanpa pelantang (mic) sekalipun tetap menggema. Sadar atau tidak, ini memang akibat kebiasaan. Saat mahasiswa: teriak-teriak bawa 'TOA'. Saat kerja: ruangan berada didekat tungku pembuatan baja (gabisa ngobrol pelan-pelan, harus teriak, walau cuma gombalin cewe).
Nah, ini kontradiktif!
Logikanya orang dengan kebiasaan lantang, akan suka dengan orang lain yang serupa. Tapi, saat tadi khotib berkhotbah, saya malah gak nyaman, deg-degan dan risih (inget ya, saya bukan kaum ngantukan, yang tertidur diantara dua lipatan kaki/bersila ).
Dia menyampaikan sesuatu yang menurut saya tidak aneh: halal, haram, subhat, surga, neraka dan tentang hukum syariat lain.
Tapi caranya... Uh, bikin dongkol dan sakit hati. Dia teriak-teriak, nunjuk-nunjuk, dan seperti menghakimi tanpa bisa ditangkap apa poin sesungguhnya (apa cuma menyampaikan, atau memang maksa untuk berbuat!). Narasinya tidak sistematis, loncat-loncat, dan disetiap jeda nafas, diksi sengaja ditekan:
"Bapak-bapak suka sholat tolak Bala? Coba kasih tau saya, pak. Apa dalilnya?!"
"Muludan? Cih! Gada pak dari sononya."
"Bapak-bapak gimana liat orang yang gak sholat? Diem aja, hah! Jangan diem, pak! Tarik (paksa) untuk sholat. Bapak-bapak harus tau maksud perintah dan larangan yang sebenarnya! Yang cerdas, pak!"
Karena saya terbiasa fokus mendengarkan orang yang lantang. Cukup jelas bagi saya untuk mendengar kata perkatanya. Sayapun gelisah. Agak khawatir, takut-takut ada jama'ah yang 'walkout'. Saya curi pandang ke kanan dan kekiri, orang anteng aja. Beberapa tetap tidur. Beberapa mengangguk-anggukan kepala tanda mengamini. Saya melirik jam, sudah hampir jam satu dan tak ada tanda-tanda dia berhenti untuk jeda khotbah kedua. Akhirnya saya nyalain hp, dan saya tulis pengingat diaplikasi notes: ini harus ditulis! Sempat sih terlintas dipikiran "Jangan-jangan, orang pun tak suka, saat saya bicara menggema." Hihi...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar