Ini tentang tanggapan diskusi di wag ikaft-untirta:
Kan anak teknik diajarinnya sistematis komprehensif bang, hehe ..
Naek tangganya setahap demi setahap.
Jadi, bagi saya, bukan tidak setuju pada konsepnya, tapi alangkah lebih indahnya secara teknis dilalui secara baik. Jadi, kalo kita pada mawas diri, dan mengedepankan kekorsaan teknik pada khususnya (tanpa ada sayap lain), hal-hal mendasar pasti sudah selesai pembahasannya. Ajeg!
Pandangan saya, saat ini alumni untirta (keseluruhan) taklebih hanya sebagai objek. Objek dari 20% alumni yang aktifitasnya di dalam nama IKA. Jika 20% nya bagus, otomatis 80% nya kebawa bagus, begitupun sebaliknya. Bagus itu minimal terindikatori dengan 'urusan dasar' nya sudah selesai, ajeg!
Kalo kita tarik garis ke jargon Jawara yang sering di gembor-gemborkan itu. Kenapa kita tidak mengadopsi keluhuran budi budaya para jawara. Yang biasa jentel, dan penuh kekeluargaan dalam menyelesaikan sesuatu. Tidak mengada-ngada dan berjiwa ksatria.
Kalo saya tidak salah baca, sejarah cikal bakal kejawaraan di Banten justru lahir dikalangan pesantren. Dalam strata kultural di Banten, jawara menempati urutan kedua setelah kyai (sejajar dengan kyai politik). Jawara adalah santri senior yang lebih fokus dikanuragan, sebagai prajurit pembela agama (lengkapnya saya tulis di artikel tentang Abuya Dimyati pandeglang 😀).
Artinya jawara bukan sesempit pengertian saat ini yang seolah-olah bos preman atau centeng -- yang seolah-olah hanya jadi 'alat penguasa politik'. Tapi, mereka sudah selesai dengan tempaan 'urusan dasar'nya.
So.....
Semoga pointnya kena. Hehe...
__
Tidak ada komentar:
Posting Komentar