cau muli dari kebon belakang rumah |
Sudah sejak lama ingin menuliskan ini. Menuliskan tentang keluarga. Walau di cicil, mesti di tuliskan. Sebagai bentuk muhasabah atau petikan kehidupan. Minimal sebagai referensi anak cucu, barangkali tak sempat tersampaikan secara verbal dan utuh.
Baru selesai nonton film keluarga cemara – film
baru yang di remark dari serial bersambung tempo dulu. Menginspirasi, terutama
pada bagian-bagian kesusahan atau kemelaratan. Tepatnya bukan menginspirasi
mungkin. Tapi ikut merasai. Karena kondisi inilah yang melekat pada kondisi
periode tumbuh saya. Setidaknya yang melekat dalam ingatan adalah dari SD
sampai dengan masa mulai bekerja setelah kuliah. Rentang waktu yang cukup
panjang –hampir dalam 20 tahunan selalu dalam kesusahan, ketidakstabilan
ekonomi dan ketertekanan sosial, ada bonus nya. Berpenyakitan ! (gynecomnastia
di 2 payudara yang melekat semakin membesar dan tak pernah terpikir bagaimana
cara menghilangkannya, karena butuh operasi dengan biaya sangatlah besar).
Inget
sekarang, jadi syukur Alhamdulilah. Walau cita-cita dan ambisi masih belum tercapai.
Tapi secara kebutuhan fisiologis up
sudah mulai terpenuhi. Minimal makan sudah mulai bisa milih. Tidak lagi hanya
nelan ludah ketika ‘kabita’ dengan menu masakan yang rada wah. Kesehatan pun
sudah membaik dan ada jaminan. Sandang, pangan, dan sedikit papan sudah ada dan
sudah merasai. Termasuk keluarga di kampung. Berangsur-angsur merasai apa yang
dulu hanya di ingini.
Jika jujur, sebetulnya saya bukan keluarga
balangsak. Bukan pula miskin struktural. Makan tidak kurang. Pakaian tak pernah
compang-camping. Aset tanah ada. Kebun Punya. Jajan selalu ada. Biaya Sekolah
selalu tersedia. Latar belakang turunan orang tua berada dari keduanya, plus
cukup terpandang dan punya pengaruh. Hanya likuiditas yang selalu limit. Selalu
riweuh dan merasa sangat miskin karena untuk memenuhi sesuatu sangatlah sulit
dan perlu waktu. Tak pernah tenang dan merasa safe akan sesuatu.
Lantas?? ya kondisi miskin lebih kepada akibat kesalahan
pengelolaan. Kesalahan Manajerial. Sekali
lagi salah manajemen. Baik manajemen operasional. Manajemen keuangan dan tentu
manajemen sumberdaya manusia nya. Kurang kompeten dan berbudaya instan. Tak
pernah terpikirkan untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan tingkatan maslow. Lebih banyak kepada
ngalir dan instan. Ya saat butuh, baru di usahakan. Itupun untuk kebutuhan yang
penting dan mendesak. Bukan kebutuhan yang kadang selalu di sabodokeun.
Mungkin kita bicara lebih teknis. Saya akan
jelaskan. Untuk apa? Saya tidak bermaksud menelanjangi aib keluarga sendiri.
Tapi ini lebih kepada untuk pelajaran. Barangkali sebetulnya banyak kejadian di
Indonesia – sebagai Negara berkembang, keluarga yang bernasib sama. Generasi
pertama susah, kemudian dia berjuang untuk “MEMILIKI & MEMENUHI”, generasi
kedua (karena masih di mentori oleh generasi pertama), tetap berjuang untuk
mempertahankan apa yang dipunyai & dimiliki tapi pada generasi kedua sudah
tidak lagi daya juang kesusahan, hanya sifat doktrinasi dari generasi pertama
yang memang betul menjalaninya. Tiba pada generasi ketiga, ini yang agak sulit.
Yang serba instan. Yang serba di cukupi semua kebutuhan. Dan gampang untuk
pemenuhannya. Karena generasi kedua sudah tak lagi terpikir bagaimana susahnya
memdapatkan apa yang di punyai dan di miliki tersebut. Sehingga melahirkan etos
kerja yang kurang pada generasi ketiga.
Inilah yang terjadi, generasi ketiga mulai
di manjakan. Tibalah pada saat menghabiskan apa yang di punyai dan di miliki. Terjadilah
kekacauan. Ke semrawutan. Pada titik inilah aspek pengelolaan tak berjalan
seperti seharusnya. Dan sayangnya, mungkin karena keterbatasan keluasan pikiran
pada periode kemerdekaan ke orde baru dan tinggal di kampong. Generasi pertama
dan kedua tidak berpikir untuk membekali dengan pendidikan umum. Atau skenerio
yang terjadi lain. Di Paksa untuk berpendidikan umum, sang anak tak pernah
serius karena biasa di manjakan. Dan yang lebih ekstrim di jaman itu malah di
ajarkan untuk di aspek kejawaraan dan kegagahan bukan aspek pendidikan atau
kewirausahaan sehingga bisa di tebak, gagaplah dia akan perkembangan zaman.
Kacau. Bingung. Di satu sisi tertuntut untuk menjalani kehidupan, berkeluarga
dan berketurunan.
Dan, habislah apa yang dipunyai dan di miliki.
Timbulah konflik antar keluarga. Yang di sebabkan oleh rebutan harta benda di genrasi ketiga. Di
perparah dengan generasi kedua mati muda. Saat generasi ketiga masih belum
jejeg, utuh dan mulai amburadul.
Begitulah…..
Bapak adalah generasi ketiga tersebut. Ibu :
bagian lain dari hal yang intinya sama.
--
Serang, 12 juni 2019
-rgs
#part2 dari 'sabtu bersama bapak', akan dilanjutkan se-inginnya, untuk part berikutnya
#part2 dari 'sabtu bersama bapak', akan dilanjutkan se-inginnya, untuk part berikutnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar