Saya tiga bersaudara. Eh, empat sebetulnya.
Karena bapak pernah menikah dan dikarunai anak perempuan : kakak saya tertua.
Ibu saya (mamah saya memanggilnya) adalah istri yang ketiga kali nya. Bapak
sudah menikah 2 kali sebelum dengan ibu saya. Dengan istri yang kedua, bapak
tak dikaruniai putra/i. Karena pernikahannya terbilang singkat --- Begitu
cerita Bapak, di suatu waktu di saung balong, sambil menunggu hujan reda.
Bapak dan ibu saya terpaut perbedaan usia 10
tahun. Baru-baru ini saya tau, Bapak lahir di 1956. Lulus SMEA ibu di pinang
bapak yang seorang kepala desa, kala itu. Di janjikan akan di kuliahkan,
setelah menikah : janji yang kemudian tidak pernah tertepati karena banyak
karenanya.
Ini jadi semua tentang bapak. Tapi kali ini saya ingin cerita tentang saudara-saudara. Yang berempat itu.
Agak sulit mendeskripsikan kakak saya yang
pertama dari ibu yang berbeda. Disamping dari kecil tidak serumah. Sangat
jarang – sebelum dewasa dan menikah – berkunjung ke rumah. Yang jelas pada umumnya,
anak dengan kondisi ketidak ajegan keluarga, bisa dipastikan terlunta-lunta
kehidupannya. Apalagi kemudian ibunya menikah lagi. Akhirnya kesini tiri,
kesitu tiri. Jika dia ceritakan, lebih sangat menarik dari cerita kesusahan
saya. Dia hanya lulusan SD (kala itu, kata bapak mau disekolahkan, di tolak
sama neneknya), kemudian masuk pesantren, tak lama menikah di usia muda.
Lainnya bisa ketebak. Cekcok dan cerai. Fenomena ini masih banyak terjadi di kampung
saya. Cepet nikah. Cepet pula cerainya.
Alhamdulilahnya, sekarang dia sudah ajeg berkeluarga dipernikahannya
yang kedua. Dengan rekan kerja nya, saat merasai menjadi TKI di Arab Saudi.
Dikarunia seorang putri : kelas 2 SD saat ini.
Adik saya yang pertama perempuan, lahir 1994. Lulusan
UIN Banten jurusan komunikasi. Sekarang sudah bekerja dan berkeluarga. Dikaruniai
seorang putra, baru 4 tahun usianya. Saya merasa dia dewasa sebelum waktunya.
Dipaksa untuk memahami kondisi likuiditas keluarga. Dan berpikir bagaimana
caranya menyelesaikan studinya, tanpa membebankan orang tua. Dia memutuskan
menikah sebelum wisuda. Tapi kemudian cum laude saat wisuda dan sukses. Pada
momen ini saya sangat menyesal, tak bisa menghadiri acaranya. Agak aneh memang.
Tak ada alasan. Selain karena keruwetan lingkungan pekerjaan -- yang alhamdulilah
saat ini sudah saya akhiri, dan mencoba berganti.
Kadang saya tak percaya dia bisa begitu. Mungkin
mencontoh. Mungkin pula terjepit kondisi. Dulu, dulu sekali, saat masih kecil,
saat masih saya gendong keliling kampung untuk main, nakal nya bukan main. kalo
tidak di turuti keinginnya, bisa nangis jerit guling-guling. Yang masih melekat
di ingatan, suatu saat, tak bisa dilarang, nginjek lantai keramik milik
tetangga, kemudian di usir dengan congkaknya, Kenangan yang agak menyakitkan
emang. Saat itu, lantai rumah kami separo tanah dan separo acian tembok. Dan rumah pun retak-retak akibat gempa yang
sering.
Intensitas saya dengan adik yang ini, lumayan
tinggi. Setidaknya rentang waktu bayi sampai dia lulus SD. Sebelum kemudian
saya kuliah, tak di rumah. dia di kirim ke pesantren modern. Di rangkas bitung.
Sampai SMA. Dan kuliah. Di serang : memilih untuk kost, tak ingin merepotkan
katanya.
Adik saya yang kedua – bungsu, laki-laki. Saat
ini mau masuk SMA. Dia lahir di 2004, saat saya lulus SMA, mau melanjutkan
kuliah. Ketemunya menjadi spot – spot. Tak terasa rasanya, bayinya berasa baru
kemarin. Sekarang sudah lulus SMP. Bagi si bungsu mungkin tak begitu terasa
prihatin nya kehidupan keluarga, setidaknya setelah dia mengerti kehidupan.
Walaupun kita, khususnya saya, selalu menerapkan pola prihatin untuk
kehidupannya. Yang kemudian saya sadar, bahwa kondisi saat ini berbeda. Tak
bisa dipaksakan. Tapi jadi ada efek lain, prestasi di sekolah tak semoncer
kakak-kakanya. Bisa dipahami. Pertama karena kurang daya juang. Kedua takkada
lagi supervisi dari yang lain. Karena otomatis dia selalu sendirian di rumah. Tapi
saya tak ambil pusing. Biarkan dia begitu adanya, menikmati kondisi. Sampai suatu
saat mulai dewasa dan tersadarkan. Toh basicnya tetep baik, tak pernah bergaul
macam-macam. Saya pun tak ingin mengarahkan begitu dalam. Tapi berharap suatu
saat, betul-betul sukses seperti yang dia inginkan.
Adik bungsu ini yang sukses dilahirkan, di
rumah yang sekarang di tempati. Tidak pindah-pindah. Seinget saya, kurang lebih
5 kali keluarga kami berganti domisili. Mulai punya rumah gedong di kampung kakek
dari bapak. Kemudian pindah ke pinggir jalan utama. Lalu ikut di rumah kakek
dari Ibu (pulang dari rutan). Selanjutnya tinggal di Saung kebon -- sendirian. Lalu
pindah ke pinggir jalan utama, kampung besar (karena mengandung bayi adik
perempuan). Dan terakhir bikin rumah di yang sekarang di tinggali.
Hal ini jadi alasan, mengapa sekarang saya,
istri dan anak-anak tetap tinggal di rumah bersubsidi (yang saya beli seminggu
sebelum menikah). Bukan karena subsidinya. Dan bukan karena tak sanggup di
rumah cluster. Ada traumatic tersendiri, ketika pindah-pindah. Selalu semua
dari nol ; lingkungan, dan tetek bengeknya. Sekarang saya memilih nambah satu rumah
untuk perluasan, lainnya untuk kantor istri (Notaris dan PPAT) dari pada harus
pergi dan berganti-ganti domisili. Entah sampai kapan.
….
cerita flash back ini jadi begitu mengharukan :
bagi saya yang sudah lama selalu mengedepankan logika daripada intuisi.
…..
Kenapa Cau muli?
Karena satu-satu penceharian yang nampak adalah
kebun pisang muli di belakang rumah. Begitu terkenang, saat anak-anak
sekolah,bekelnya nya pun selalu pisang muli. Dikardusin. Di ikat karet ban
warna item dan tenteng di mobil elf.
Walau kemudian kebun ini di oper alihkan
pemilik, karena di ributkan oleh keluarga dari pihak bapak. Sebetulnya ini
bukan satu-satunya yang di permasalahkan. Karena selalu, selalu dan selalu ada
semacam kecemburuan. Mengenai keruwetan ini, saya agak enggan menulisnya.
Unfaedah rasanya. Seinget saya, tak
pernah ada kebaikan di keluarga kami di mata sodara-sodara. Terutama bapak.
Steriotipe ‘tukang menghabiskan pakaya’ sudah melekat. Walau bagaimanapun usaha
yang sudah dilakukan. Tak lantas menghilangkan semua dendam dan cercaan. Sampai
detik catatan di buat pun. Tak habis rasanya perseteruan yang ada. Tentang
‘pakaya’ dan semua kenorakan nya.
Nauzdubilah…
--
Serang, 15.06.2019
Endingnya tak sempurna, karena saya jadi terbawa emosional. haha..
BalasHapusAlhamdulilah sekarang:
Teh lida amaknya sudah kelas 3 SD
Adik Ayu sudah melahirkan anak kedua (perempuan)
Adik Danda (sudah SMA kelas 2)