Menarik dan semakin menarik.
Saya baru ngeh, kenapa dulu bapak (yang notabene-nya mantan kepala desa), selalu banyak cerita ke saya tentang masyarakat.
Walau berbeda lokasi --bapak pada zaman dulu dan di kampung, saya zaman sekarang dan di perumahan kota-- cerita tentang masyarakat di indonesia khususnya, kurang lebih sama.
Smapai ahli sosiologi pun kemungkinan akan terus berpikir, karena pola kehidupan manusia (masyarakat) sangat dinamis.
Sebelum lupa, saya sarankan kepada siapapun yang membaca tulisan ini, untuk siap-siap dan selalu pakai helicopter view saat terjun di masyarakat. Kenapa? karena kalo ikut serta masuk dalam pusaran airnya, kita kan terseret dan tidak tentu arah, akhirnya malah tidak nyaman berada pada lingkungan (rumah kita sendiri).
Saat kita pakai helicopter view, kita bisa melihat dari berbagai sisi, mampu menimbang apa yang harus kita lakukan, sekaligus memperkecil resiko yang akan di dapat.
Masyarakat di indonesia, terutama pada lingkungan terkecil-terdasar (RT,RW, kampung/dusun) merupakan masyarakat kolektif. Bedanya, dikampung dalam satu garis keturunan yang sama (homogen), dikota/dikomplek berbeda-beda (heterogen).
Tapi, ruwetnya sama, dimasyarakat yang menjungjung tinggi kolektifitas, problem nya dalah keruwetan saat pengambilan keputusan. Dilingkungan masyarakat homogen sekalipun, konflik selalu mencuat. Karena haikatnya manusia mempunyai nafsu untuk saling menguasai. Hanya sedikit bedanya, dilingkungan homogen dia yang kuat dari segi pengaruh dan fisik, mempunyai kelebihan untuk 'memaksakan kehendak'nya.
Dilingkungan masyarakat heterogen, lebih dinamis, berebut pengaruh berdasarkan 'keterbiasaaan bawaan' masing-masing. Hanya karena sedikit agak kota, maka terpengaruh oleh umum negara, membiasakan pengaruh berdasarkan naral dan pola-pola demokrasi.
Sekali lagi ruwetnya sama, kita harus betul-betul pasang helicopter viewnya.
Ruwet yang dimaksud lebih ke arah ketahanan diri akan cemoohan, ketidakefektifan gerakan, julid, buruk sangka apalagi yang berhubungan dengan uang.
Jika sampai kita tergelincir dengan nafsu, tanpa pandai mengerem diri, kita akan terjebak pada kuat-kuatan yang berakhir pada ketidakharmonisan dalam bertetangga dan bermasyarakat.
Tapi menariknya adalah ini merupakan pembelajaran yang sesuangguhnya.
Kita boleh jadi punya segudang ilmu, sebrilian ide, tapi saat tidak bisa implemen di masyarakat, berarti ide kita tersebut bulshit. Kita hanya jadi mercusuar, menerangi yang jauh tapi tidak memberikan manfaat untuk sekitar.
Saya baru sedikit-sedikit memahami ungkapan tri darma perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.
Pendidikan dan penelitian, bagaimana pun sulitnya, itu bisa terukur. Tapi, pengabdian masyarakat sungguh sangat dinamis. Barangkali apa yang sudah kita declare sebagai pengabdian, belum tentu selaras dengan pikiran dimasyarakat, dan belum tentu pula tepat guna sesuai aplikasinya. Sebab sejauh ini, perguruan tinggi (yang saya kenal) hanya geer sendiri. Geer telah mengabdi kemasyarakat, nyatanya masyarakat tak merasakan apa-apa. Akhirnya cenderung klaim untuk propaganda, bahwa program telah dilaksanakan.
Betul-betul menarik dan semakin menarik.
Asal tahan untuk terus belajar.
(rikigana)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar