Rabu, 26 Januari 2022

Aktifitas Jan 22 (2)

 

Pelatihan iso 9001 di Polka
#NUKULA Consulting

Aktifitas Jan 22 (1)


Pendampingan pembuatan NIB untuk UMK di Kota Serang


Bersama Peserta dari UMK Satria Rajut Banten


Menyoal IKAUC

Ini tentang tanggapan diskusi di wag ikaft-untirta:

Kan anak teknik diajarinnya sistematis komprehensif bang, hehe ..

Naek tangganya setahap demi setahap. 

Jadi, bagi saya, bukan tidak setuju pada konsepnya, tapi alangkah lebih indahnya secara teknis dilalui secara baik. Jadi, kalo kita pada mawas diri, dan mengedepankan kekorsaan teknik pada khususnya (tanpa ada sayap lain), hal-hal mendasar pasti sudah selesai pembahasannya. Ajeg!

Pandangan saya, saat ini alumni untirta (keseluruhan) taklebih hanya sebagai objek. Objek dari 20% alumni yang aktifitasnya di dalam nama IKA. Jika 20% nya bagus, otomatis 80% nya kebawa bagus, begitupun sebaliknya. Bagus itu minimal terindikatori dengan 'urusan dasar' nya sudah selesai, ajeg!


Kalo kita tarik garis ke jargon Jawara yang sering di gembor-gemborkan itu. Kenapa kita tidak mengadopsi keluhuran budi budaya para jawara. Yang biasa jentel, dan penuh kekeluargaan dalam menyelesaikan sesuatu. Tidak mengada-ngada dan berjiwa ksatria.

Kalo saya tidak salah baca, sejarah cikal bakal kejawaraan di Banten justru lahir dikalangan pesantren. Dalam strata kultural di Banten, jawara menempati urutan kedua setelah kyai (sejajar dengan kyai politik). Jawara adalah santri senior yang lebih fokus dikanuragan, sebagai prajurit pembela agama (lengkapnya saya tulis di artikel tentang Abuya Dimyati pandeglang 😀). 

Artinya jawara bukan sesempit pengertian saat ini yang seolah-olah bos preman atau centeng -- yang seolah-olah hanya jadi 'alat penguasa politik'. Tapi, mereka sudah selesai dengan tempaan 'urusan dasar'nya.

So.....

Semoga pointnya kena. Hehe...

__

(Rikigana - Alumet 2004)

Rabu, 19 Januari 2022

HARAM!

Catatan Juma'ahan (1)

Saya termasuk orang yang suka bicara depan publik dengan lantang. Dengan diksi yang jelas-tuntas. Tanpa pelantang (mic) sekalipun tetap menggema. Sadar atau tidak, ini memang akibat kebiasaan. Saat mahasiswa: teriak-teriak bawa 'TOA'. Saat kerja: ruangan berada didekat tungku pembuatan baja (gabisa ngobrol pelan-pelan, harus teriak, walau cuma gombalin cewe).😀
 
Nah, ini kontradiktif!
 
Logikanya orang dengan kebiasaan lantang, akan suka dengan orang lain yang serupa. Tapi, saat tadi khotib berkhotbah, saya malah gak nyaman, deg-degan dan risih (inget ya, saya bukan kaum ngantukan, yang tertidur diantara dua lipatan kaki/bersila 😀).
 
Dia menyampaikan sesuatu yang menurut saya tidak aneh: halal, haram, subhat, surga, neraka dan tentang hukum syariat lain.
Tapi caranya... Uh, bikin dongkol dan sakit hati. Dia teriak-teriak, nunjuk-nunjuk, dan seperti menghakimi tanpa bisa ditangkap apa poin sesungguhnya (apa cuma menyampaikan, atau memang maksa untuk berbuat!). Narasinya tidak sistematis, loncat-loncat, dan disetiap jeda nafas, diksi sengaja ditekan:
 
"Bapak-bapak suka sholat tolak Bala? Coba kasih tau saya, pak. Apa dalilnya?!"
 
"Muludan? Cih! Gada pak dari sononya."
 
"Bapak-bapak gimana liat orang yang gak sholat? Diem aja, hah! Jangan diem, pak! Tarik (paksa) untuk sholat. Bapak-bapak harus tau maksud perintah dan larangan yang sebenarnya! Yang cerdas, pak!"
 
Karena saya terbiasa fokus mendengarkan orang yang lantang. Cukup jelas bagi saya untuk mendengar kata perkatanya. Sayapun gelisah. Agak khawatir, takut-takut ada jama'ah yang 'walkout'. Saya curi pandang ke kanan dan kekiri, orang anteng aja. Beberapa tetap tidur. Beberapa mengangguk-anggukan kepala tanda mengamini. Saya melirik jam, sudah hampir jam satu dan tak ada tanda-tanda dia berhenti untuk jeda khotbah kedua. Akhirnya saya nyalain hp, dan saya tulis pengingat diaplikasi notes: ini harus ditulis! Sempat sih terlintas dipikiran "Jangan-jangan, orang pun tak suka, saat saya bicara menggema." Hihi...
 
Demikian.
__
Serang, 14 Jan 2022