Selasa, 30 Maret 2021

Pajak Tahunan

Selama saya menjadi karyawan, memang tidak pernah melakukan sendiri pengurusan pajak ini. Biasanya sudah di urus oleh bagian HRD. Dari awal mulai bekerja.

Jadi merasa tidak ada masalah, dan tak pernah beban -- malah meraa tidak ada pelaporan pajak tahunan tersebut.

Sekarang saat saya freelance, bukan lagi sebagai karyawan, maka harus melakukan pelaporan sendiri. 

Malahan sekarang harus melaporkan 2 unit.

Satu untuk SPT pribadi (yang periode maksimalnya s.d maret tanggal 31), satu lagi SPT badan (perusahaan Nukula) yang periode berakhirnya April. Apabila tidak melakukan pelaporan maka akan di kenakan Sanksi apabila sampai batas waktu yang ditentukan tidak memenuhinya, untuk pribadi 100 ribu rupiah dan untuk badan 1.000.000 rupiah.

...

Surat Pemberitahuan (SPT) pajak adalah surat berbentuk formulir yang digunakan sebagai sarana bagi WP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan kewajiban perpajakan dalam tahun atau masa pajak.

Aturan mengenai SPT juga dipertegas dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).

Menurut UU tersebut, WP diwajibkan oleh pemerintah untuk melaporkan SPT setiap tahunnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Pelaporan SPT Tahunan dapat dilakukan melalui dua cara:

  • Pertama, cara manual dengan mendatangi Kantor Pelayanan Pajak (KPP) terdekat.
  • Kedua, cara online menggunakan situs yang diluncurkan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP), yakni DJP Online.

Fungsi SPT adalah:

  • Wajib Pajak PPh
    • Sebagai sarana WP untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
      • pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri atau melalui pemotongan atau pemungutan pihak lain dalam satu Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak;
      • penghasilan yang merupakan objek pajak dan atau bukan objek pajak;
      • harta dan kewajiban;
      • pemotongan/ pemungutan pajak orang atau badan lain dalam 1 (satu) Masa Pajak.
  • Pengusaha Kena Pajak
    • Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan penghitungan jumlah PPN dan PPnBM yang sebenarnya terutang dan untuk melaporkan tentang:
      • pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran;
      • pembayaran atau pelunasan pajak yang telah dilaksanakan sendiri oleh PKP dan atau melalui pihak lain dalam satu masa pajak, yang ditentukan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku.
  • Pemotong/ Pemungut Pajak
    • Sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan pajak yang dipotong atau dipungut dan disetorkan. 

Sabtu, 27 Maret 2021

Lagi2 Masyarakat (Taman)

Walau ruwet, setidaknya saya harus menciptakan kontribusi nyata. Sekedar tips, jika berada dilingkungan yang ruwet (tapi kita benar), pinter-pinterlah bersikap dan menarik diri dari keruwetan itu. Jangan terjebak.

Saya sebetulnya tidak ingin di kenang sebagai orang yang sangat berkontribusi. Hanya, dimanapun organisasi atau lembaga yang saya temui, entah kenapa banyak dan banyak lagi orang yang tidak mau ambil tanggung jawab untuk beraksi. 

Entah karena alasan apapun.

Termasuk di masyarakat ini. 

Banyak ributnya, banyak debatnya, tapi sedikit aksinya. Kelas sosialnya agak kompleks.

Sudah lama saya ingin lingkungan perumahan subsidi ini bersih. Nyaman. Asri.

Tapi memang sulit, perumahan subsidi ini begitu heterogen, dan begitu bandel.

Kebiasan buang sampah saja masih sembarangan. Sangat kurang kesadaran. 

Ditegor, alih-alih mendengar, malah melawan.

Sungguh ironi.

Seminggu ini saya membuat taman di hok perumahan. 

Hanya berdua. Alih-alih orang berterima kasih, malah banyak yang nyiyir. Begitulah orang. Sedikit yang paham, banyak yang nganclong.

Walau tidak ada yang berani frontal, tapi tetap kacau di belakang.

Wajar sih. Dalam kelas demikian.

Tapi saya tetap maju. Ini untuk kebaikan, kerapian -- membuat ruang terbuka hijau (rth) di perumahan. Toh, sudah diumumkan di grup artesis. Sudah dalam proker yang seharusnya.

Btw, kenapa ya, saya saat menulis dengan emosi jadi acak-acakan.

Jadi, belum bisa betul2 clear. Masih terpengaruh keadaan.

(Rikigana)

Senin, 22 Maret 2021

Masyarakat Lagi

Menarik dan semakin menarik.

Saya baru ngeh, kenapa dulu bapak (yang notabene-nya mantan kepala desa), selalu banyak cerita ke saya tentang masyarakat. 

Walau berbeda lokasi --bapak pada zaman dulu dan di kampung, saya zaman sekarang dan di perumahan kota-- cerita tentang masyarakat di indonesia khususnya, kurang lebih sama.

Smapai ahli sosiologi pun kemungkinan akan terus berpikir, karena pola kehidupan manusia (masyarakat) sangat dinamis.

Sebelum lupa, saya sarankan kepada siapapun yang membaca tulisan ini, untuk siap-siap dan selalu pakai helicopter view saat terjun di masyarakat. Kenapa? karena kalo ikut serta masuk dalam pusaran airnya, kita kan terseret dan tidak tentu arah, akhirnya malah tidak nyaman berada pada lingkungan (rumah kita sendiri).

Saat kita pakai helicopter view, kita bisa melihat dari berbagai sisi, mampu menimbang apa yang harus kita lakukan, sekaligus memperkecil resiko yang akan di dapat.

Masyarakat di indonesia, terutama pada lingkungan terkecil-terdasar (RT,RW, kampung/dusun) merupakan masyarakat kolektif. Bedanya, dikampung dalam satu garis keturunan yang sama (homogen), dikota/dikomplek berbeda-beda (heterogen).

Tapi, ruwetnya sama, dimasyarakat yang menjungjung tinggi kolektifitas, problem nya dalah keruwetan saat pengambilan keputusan. Dilingkungan masyarakat homogen sekalipun, konflik selalu mencuat. Karena haikatnya manusia mempunyai nafsu untuk saling menguasai. Hanya sedikit bedanya, dilingkungan homogen dia yang kuat dari segi pengaruh dan fisik, mempunyai kelebihan untuk 'memaksakan kehendak'nya.

Dilingkungan masyarakat heterogen, lebih dinamis, berebut pengaruh berdasarkan 'keterbiasaaan bawaan' masing-masing. Hanya karena sedikit agak kota, maka terpengaruh oleh umum negara, membiasakan pengaruh berdasarkan naral dan pola-pola demokrasi.

Sekali lagi ruwetnya sama, kita harus betul-betul pasang helicopter viewnya.

Ruwet yang dimaksud lebih ke arah ketahanan diri akan cemoohan, ketidakefektifan gerakan, julid, buruk sangka apalagi yang berhubungan dengan uang.

Jika sampai kita tergelincir dengan nafsu, tanpa pandai mengerem diri, kita akan terjebak pada kuat-kuatan yang berakhir pada ketidakharmonisan dalam bertetangga dan bermasyarakat.

Tapi menariknya adalah ini merupakan pembelajaran yang sesuangguhnya. 

Kita boleh jadi punya segudang ilmu, sebrilian ide, tapi saat tidak bisa implemen di masyarakat, berarti ide kita tersebut bulshit. Kita hanya jadi mercusuar, menerangi yang jauh tapi tidak memberikan manfaat untuk sekitar.

Saya baru sedikit-sedikit memahami ungkapan tri darma perguruan Tinggi: pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Pendidikan dan penelitian, bagaimana pun sulitnya, itu bisa terukur. Tapi, pengabdian masyarakat sungguh sangat dinamis. Barangkali apa yang sudah kita declare sebagai pengabdian, belum tentu selaras dengan pikiran dimasyarakat, dan belum tentu pula tepat guna sesuai aplikasinya. Sebab sejauh ini, perguruan tinggi (yang saya kenal) hanya geer sendiri. Geer telah mengabdi kemasyarakat, nyatanya masyarakat tak merasakan apa-apa. Akhirnya cenderung klaim untuk propaganda, bahwa program telah dilaksanakan.

Betul-betul menarik dan semakin menarik.

Asal tahan untuk terus belajar.

(rikigana)

Selasa, 16 Maret 2021

Priority Planning

Selagi inget, sambil menikmati dari ademnya cuaca akibat hujan yang deras, hehe...

Saya musti menuliskan ini. Rencana prioritas -- jaring pengaman kehidupan secara pribadi.

Kenapa harus dituliskan. Karena, kalo ada uang kadang habis ga karuan. Godaannya: jalan-jalan ke LN, atau beli mobil baru, atau apapun yang kadang disesali dikemudian hari -- karena uang besar hanya mampir sesekali. Wkwkkw.....

Baik begini saya tuliskan. Secara skala prioritas.

1. Beli sawah; ya, tanah darat sudah punya, balong sudah punya, saatnya punya sawah. Kenapa sawah: satu hal sebagai jaring pengaman untuk makanan pokok (aman setiap bulannya, tak perlu beli), dua hal karena pemberdayaan masyarakat di kampung saya. Seperti kebun yang sekarang, dengan adanya sawah, terbuka kembali pekerjaan bagi penduduk disana. Tentu tak mungkin saya yang mengerjakannya. Ada mutualisme disana. Ada aspek pemberdayaan sekecil apapun. Saya sudah tidak lagi bermimpi muluk, misal: berjuang memekarkan kabupaten, cukup kecil tapi berdampak langsung itu sudah oke. Saya sudah coba bikin sekolah, bikin TBM, tapi masyarakat disana belum terbiasa untuk mengurusnya, lebih baik pemberdayaan jaring pengaman perut sementara ini. Baru mungkin kemudian bertahap kependidikan.

2. Renovasi rumah; saya pecinta arsitektur keindahan, tapi di sisi lain sebetulnya karena kebutuhan. Saya beli 2 rumah, tapi satu rumah kami gunakan sebagai kantor. Secara otomatis untuk urusan sehari-hari hanya pakai satu rumah. Dilain sisi, anak saya 3, pembantu, di tambah keluarga besar yang sering bersilaturahmi. Akhirnya, rumah yang ada belum memenuhi unsur cukup. Saya sudah menggambar untuk 2 lantai, dengan khusus tambahan kamar (untuk anak-anak), ruang pembantu, ruang keluarga yang besar, serta mushola (mengingat keluarga besar selalu yang pertama dicari mushola, entah buat ibadah atau sekedar leyeh-leyeh). Nah, bonusnya, barangkali ada rezekinya, semoga yang di samping rumah di jual, saya berencana untuk membeli dan menggunakannya sebagai halaman. Entah untuk tanaman, atau sekedar untuk main anak-anak, atau mungkin kedepannya bisa untuk museum atau sekedar tempat nongkrong. Saya terbiasa hidup di halaman luas di kampung. Jadi, cita-cita untuk punya halaman tetap selalu di inginkan.

3. Beli mobil (lagi), bukan pemborosan, tapi lagi-lagi seiring anak bertumbuh besar, keluarga juga merupakan keluarga besar, mobil kecil hatback tentu tidak akan cukup lagi. Minimal harus yang 3 sheet. Mobil-mobil yang cukup menampung 8 orang minimal. Agar leluasa.

4. Jika ada kesempatan dan rizkinya, saya ingin kuliah S2 sejarah, seiring dengan ketertarikan akan hal tersebut. Kemudian untuk S3 nya, menyesuaikan setelah S2 tersebut, apakah sejarah atau manajemen. Karna notabenenya saya sudah S2 manajemen sekarang pun. Kalo saya S3 manajemen saya sudah bulat tekad untuk ambil jurusan Manajemen strategi. Kao sejarah belum tahu.

Demikian. Semoga selalu diberi kesehatan.

Saya yakin, saya yang menuliskannya dalam catatan ini, Alloh yang akan mengabulkannya.

Aamiin YRA....

(rikigana)

Minggu, 14 Maret 2021

Asisten RT

Gampang-gampang susah kalo bicara ART (yang bantu-bantu di rumah).

Di jaman yang serba sibuk (suami - istri), tak sempat mengurus rumah dan memasak.

Saya sebetulnya agak kurang srek dengan adanya pembantu di rumah. Satu hal karena pekerjaan rumah bisa dikerjakan sendiri. Lainnya karena tak pernah ada standar jelas untuk pekerjaan ini: gajinya, skillnya, attitudenya, dll.

Tapi apa adaya, ternyata butuh juga. Pada satu titik, kita membutuhkan orang lain untuk mengerjakan sesuatu.

Sebagai orang sedikit introvert, saya tidak terlalu senang dengan kehadiran orang lain di rumah. 

Kami banyak berganti-ganti ART. 

Bukan sombong: hal ini bukan karena perlakuan kami, gaji oke, selow, makanan tak pernah dibedakan, status juga dianggap sama -- mengingat background keluarga kami yang dari kampung dan bukan orang yang kaya awalnya.

Tapi apa lacur. Attitude orang-orang yang bantu-bantu ini sangat jauh. Banyak dikecewakan. Selalu ada drama, yang dimulai pinjem uang, kemudian pulang ga balik lagi -- atau dia ga masuk-masuk.

Kami pernah coba pakai pembantu yang stay (nginep- ambil dari kampung halaman), juga pembantu yang pulang pergi (ambil dari kampung sebelah komplek). Nyatanya, rata-rata begitu.

Awal-awal rajin. Bulan selanjutnya mulai pinjem uang. Bulan selanjutnya ogah-ogahan (bagi yang stay, maen hape terus, bagi yang pulang pergi sering ga masuk dengan alasan keperluan keluarga).

Kami hanya bisa mengurut dada. Kami tidak biasa memarahi. Entah kenapa, sudah menjadi bawaaan, kadang empati berlebihan pada pemantu. Tetangga bilang itu dimanfaatkan. Tapi, ya susah, kami biarkan apa adanya.

Saya iseng telisik, kenapa rata2 pembantu begitu. Setidaknya 5-6 pembantu yang pernah kita rekrut (rata-rata usia 20 - 35 tahun).

Hasilnya menarik: suami merokok, tidak bekerja (atau kerja serabutan) dan tetap minta jatah rokok setiap hari; ambil kredit motor, dengan alasan transportasi dia dan suami, yang tentu tiap bulan harus dicicil; arisan di rumah, yang tiap bulan harus dibayar, nantinya untuk beli perlengkapan rumah; ada sebagian yang ambil bank keliling (rentenir), yang awalnya pinjem buat beli keinginan bukan kebutuhan; malah masalah makan, jajan anak, dan kebutuhan harian, tidak pernah menjadi alasan mereka untuk bekerja. Makan dikampung yang penting ada beras, beras rata-rata tersedia, entah ada keluarga yang nyawah, entah karena lingkungan yang selalu ngasih. 

Intinya: keinginan yang hedon, bukan untuk pemenuhan kebutuhan.

Kalo ditilik dari sosiologi, bisa di pahami: pendidikan maksimal smp, nikah muda, lingkungan peralihan dari yang tadinya biasa saja, kemudian tersentuh macam-macam tawaran gaya kota: motor, elektronik, dll.

Pilihan nya: nyambi jadi pembantu. 

Pikiran mereka, asal mau, toh juga mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Ketemu majikan yang baik (bisa dimanfaatkan), minimal bisa pinjem uang untuk cicilan, syukur-syukur sampe 6 bulan, minimal 3 bulanlah, yang selanjutnya dia pergi untuk mencari majikan baru.

Agak kesel memang. Tapi, saya lebih tertarik pada fenomena sosiologinya. Secara umum, demikianlah masyarakat tingkat bawah diindonesia. 

Kita kadang terlalu kejauhan bicara tentang politik negara, tapi luput dari hal-hal sederhana.

Mereka hanya di jadikan objek oleh para politisi. Dijadikan hedon, dengan memperluas jurang keinginan, agar butuh dan jadi objek untuk pencoblosan.

Dilain sisi, pendidikan tak menjadi hal penting dan alternatif untuk berkembang.

Ini terjadi di Serang (yang merupakan Kota provinsi), maupun di malingping (notabenenya sebuah kecamatan kecil di kampung halaman).

Demian, setidaknya ini adalah pengalaman yang pernah saya rasakan.

(Rikigana)


Kamis, 11 Maret 2021

Males Administrasi

Saya sudah dinyatakan lulus MM di 15 januari 2021. Sudah syah! yang menurut saya biasa saja, yang menurut orang lain luar biasa, yang menurut saya pada jaman S1 merasakan hal yang sama.

Saya kira karena sudah S2, dan sudah hampir 11 tahun meninggalkan UNTIRTA, pengurusan administrasinya lebih canggih.

Saya kebetulan S1 di kampus ini juga.

Kembali ke canggih, nyatanya betul banyak perubahaan secara tools (alat). 
Berkembangnya iots (internet of thinks) memang merubah wajah kampus.

Hanya, sekali lagi hanya, tak ada yang berubah dari etos kerja nya. Administratifnya -- maaf, orangnya. Hehe..

Semenjak jaman S1, pengurusan administratif begitu ruwetnya. Bukan ruwet di sistemnya. Tapi lebih kepada ruwet di orang yang mengurusinya.

Katanya by sistem, tapi malah mereka yang tidak mengikuti sistem.

Salah cetak, tunggu input manual, informasi mendadak, tak jelas harus kapan offline dan online, dan masih banyak lagi masalah birokrasi administrasi lainnya, agak miris dan belum sejalan dengan akreditasi A nya.

Saya kira sudah berubah, nyatanya masih sama. Maaf saya mengeneralisir, karena nyatanya demikian.

Saya jadi teringat waktu ngurus izin penelitian di dinas, sama juga nyatanya di kampus ini.

Apakah habit ini mendarah-daging di semua organisasi pelayanan pemerintah?

Entahlah.
(rikigana)

LK IMC


Hampir 10 tahun (semenjak saya ikut mengeksiskan organisasi primordial di banten selatan) berkesempatan untuk menghadiri kembali.

Pada zaman nya, di LK pertama, gilang gemilang pergerakan kemahasiswaan di lembur kidul begitu baik.

Melahirkan kader awal, membuat propaganda di koran lokal, berunjuk rasa menggoalkan pembangunan jalan raya ke selatan, istigosah bersama masyarakat, dan banyak lagi ragamnya.

Itu waktu awal-awal pendirian, dan awal-awal keeksisan. Selanjutnya? saya tak banyak mengikuti, karena saya merasa bukan bagian dari itu. Ada sisi norak yang tak bisa saya ikuti -- atau berada di dalamnya. Kenorakan utama terletak pada keoportunisan orang-orangnya. Saya kira bisa meninggalkan kultur 'kekidulan.' Tapi nyatanya terseret dan sengaja diseret ke kepentingan politik praktis.

Jadinya oportunis praktis. Ada bangkai lalat berkerumun.

Itu dulu.

Walau sampai sekarang saya rasa masih demikian.


Lantas, sebagai bentuk nostalgia, dan waktu pandemi ini lumayan lowong. Saya menyempatkan mampir di LK yang katanya sudah menginjak angkatan 16.

Saya tetap tidak berubah, saat dikasih waktu untuk bicara, tetap pada pendirian bahwa organisasi primordial ini harus sesuai khitah awalnya.

Mahasiswa tetep pada fungsinya (4 fungsi mahasiswa : sosial control, agent change, moral force, iron stock) dan tidak lepas dari tri darma perguruan tinggi (pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat.

Pembentukan kab cilangkahan adalah keniscayaan. Cepat atau lambat. Dengan atau tanpa kita, pasti terbentuk. Banyak kaum oportunis yang berkepentingan. Sebaiknya mahasiswa tidak ikut terlalu dalam dikubangan itu -- apalagi kemudian menjadi sangat praktis, politik praktis. Saya merasa itu menjadi kenorakan tersendiri.

Jika tidak mampu mengimbangi kepraktisannya, saya hanya saran jaga idealismenya, dan minimal program adalah pengkaderannya.

Generasi akan berubah, cepat atau lambat cilangkahan terbentuk, pasti membutuhkan iron stock yang bagus. Ini bukti kongkrit untuk menyiapkan kedepan.

Lepaskan retorika yang berapi-api. Kita bukan pada zaman itu. Saat ini kita pada zaman kompetitif profesional. 

Untuk sama-sama menyongsong indonesia emas 2045.

(rikigana)

Kamis, 04 Maret 2021

Sembilan Tahun

Empat maret 2021.

Sekali lagi gak terasa: tepat di 04-03-2012 (9 tahun yang lalu) saya mengucapkan syahadat di hadapan penghulu. Menikahi istri yang sekarang.

Banyak hal yang sudah dilalui. Dilewati. Dan tak terasa. Saya termasuk yang jarang berkonflik dalam keluarga. Akhirnya tak terasa sudah menjalani rumahtangga 9 tahun lamanya.

Banyak suka dukanya -- alhamdulilah banyak sukanya.

Merangkak dari nol, sampai berkeluarga beranak pinak dan dikasih tiga.

Terima kasih ya Alloh atas segala nikmat yang engkau berikan.

(rikigana)