Rabu, 30 September 2020

Kelar revisi UP

Pekerjaan yang mudah, adalah pekerjaan yang dikerjakan!

Pekerjaan yang sulit, adalah pekerjaan yang hanya di pikirkan.

Begitupun tesis ini, tak disangka, kelar melakukan revisi proposal tesis hanya dengan waktu 2 hari (sampe selesai ttd)

Padahal skipnya dari bulan april. Tak sesulit yang di bayangkan.

Alhamdulilah selesai. Sekarang menginjak ke bab 4 dan 5. 

Be careful: jangan dilepaskan, terus tempel, jangan dikasih kendor. Sekalinya di biarkan, akan terlena dan malas untuk memulai kembali.

Jangan tanya kenapa. Itu sudah hukum alamnya demikian.

Cukup kerjakan. Berhenti berpikir.

(Rikigana)

Kamis, 24 September 2020

Tentang Masyarakat (3)

 Ini pelajaran juga, yang tak mungkin diajarkan pada keilmuwan yang ideal

Sebagai pengalaman, kita dilingkungan apapun, selalu akan dihadapkan kedalam berbagai lapisan golongan. Baik yang bagus, pun yang buruk. Salah satu contohnya adalah orang-orang yang selalu bertipu muslihat.

Seiring waktu dan pengalaman (pergaulan), saya jadi menemukan pola akan hal ini.

Tentang pola-pola orang yang biasanya merupakan golongan orang bertipu muslihat.

Pertama, berhati-hatilah dengan orang paling dekat disekitar kita, baik dia yang sering bertukar pikiran, atau dia makan-minum bergaul dengan kita (bukan selalu curiga tetapi kemungkinan kita di khianati selalu ada. Waspada lebih baik. Karena saking percayanya kita, terkadang rahasia atau hal penting yang akan melemah kita, bisa terungkap. Bisa karena sengaja atau pun tidak orang tersebut membukanya).

Kedua, gerak-gerik. Kalau ada orang yang berlebihan mendukung kita, harap waspada, bisa jadi orang tersebut termasuk golngan tipu daya. Agar melihat kita lemah. Pada yang kontra terkadang kita berhati-hati. Tapi sesungguhnya yang bahaya adalah pada orang yang mendukung berlebihan.

Ketiga, orang yang sealu bergerak gerik memperhatikan, bisa jadi dia sedang mengincar kelemahan kita.

Sementara ini dulu, saya tidak akan kasih solusinya, karena kembali ke pribadi masing-masing.

Intinya: kenali (identifikasi) , agar kita tau solusi.

(rikigana)

Jumat, 18 September 2020

Tentang Masyarakat (2)

Alih-alih segera menyelesaikan tesis (walau dikerjakan dipaksa sedikit demi sedikit), malah saya tertarik dengan kajian ini. Memang betul, bahwa keilmuwan yang paling 'menggairahkan' adalah ketika kita menemukan problem langsung dari ilmu tersebut.

Contoh saat ini, saya ikut terlibat dalam salah satu tatanan organisasi di masyarakat (tempat tinggal). Ikut sebagai pengurus di paguyuban sumur artesis (sumur air yang dikelola sendiri oleh masyarakat, untuk masyarakat, dan modal awalnya dari masyarakat). Mula-mula memang agak jengah. Kenapa demikian? organisasi ini ada duitnya, karena memungut bayaran wajib dari setiap rumah. Dengan adanya uang, pengurus pertama melakukan perkeliruan uang (dalam bentuk apapun). Saya termasuk yang kemudian ikut membenahinya. Di awal dikira cukup sampai disitu. Ternyata saat saya masuk di kepengurusannya, tak sesederhana itu. Ada kelompok lain yang menginginkannya. Saya baru sadar, sebetulnya ini adalah politik praktis di masyarakat, dimana satu kelompok ingin menggulingkan kelompok lain karena rebutan ladang pendapatan; norak!

Ini jadi tak hampir sama dengan perusahaan tempat bekerja pertama. Persis, rebutan posisi yang ujungnya untuk mendapatkan uang. Nyatanya, tidak kecil tidak besar, tidak level atas atau level bawah, sekarang lumrah orang melakukan hal tersebut. Mungkin ini juga akibat keterbukaan informasi yang begitu bebas, disamping nurani yang melemah, dan desakan syahwat keserakahan manusia.

Singkatnya, saya yang coba membenahi, tapi apa lacur, banyak yang memusuhi. Mula-mula kelompok yang ingin menjatuhkan pengurus lama mendekati saya. Tapi, setelah saya masuk, ternyata mereka tidak bisa membonceng, dan disitulah mereka mulai memusuhi.

Memang heran, kenapa ditiap lembaga/organisasi yang saya ikuti, saya selalu terlibat dalam tim 'pembenahan'. Konsekuensinya adalah tim tersebut kecil --hanya segelintir orang, biasanya saya yang punya perananan besarnya-- banyak yang memusuhinya. Perbandingannya selalu lebih besar kelompok lawan dibandingkan kelompok kawan. Selalu lebih besar pro kepentingan kelompok tertentu dibandingkan pro kepentingan bersama dan yang seharusnya.

Tapi ini jadi pengalaman..

Dan saya rasa akan beda penangannya.

Mula-mula memang saya terpancing emosi (hampir sama dengan di tempat kerja dulu). Pasang badan, dan siap maju karena memang saya yang benar. Walau tak seekstrim di kantor yang dulu (sampai buka-bukaan masalah pribadi), tapi ternyata 'adu ego' semacam itu tetap menimbulkan konflik (baik soft maupun semi hard). Selalu ada kasak kusuk dan coba penggalangan kekuatan. Hanya karena mungkin mereka tidak terlalu solid (punya kpentingan sendiri-sendiri) itupun tidak begitu kuat. Dan rata-rata memang kelompok tersebut adalah orang yang kebutuhan fisiologisnya kurang dan orang yang rasa ingin diakui (kebutuhan sosialnya) tinggi. Orang-orang kurang kerjaan dan tidak kreatif tapi ingin mengakali apa yang menurut mereka peluang. norak!

Kembali ke penanganan.

Berdasarkan pengalaman, akhirnya saya tidak mencoba metode konfrontasi. Alih-alih baik, malah nanti banyak musuh di tempat tinggal. Padahal tujuan pulang kerumah sebetulnya adalah untuk istirahat tenang tanpa ada pikiran. Oh iya, sebetulnya awal-awal juga saya tidak tertarik. Tapi, karena satu kelompok terus mendesak untuk turut serta, dan saya rasa logis alasannya (ada perkeliruan uang), maka saya putuskan ikut serta. Bukan tanpa pertimbangan itupun: sudah saya pikirkan matang-matang segala resikonya.

Akhirnya, saya alihkan menjadi bidang kajian.

Apalagi saya sedang berprofesi sebagai pengajar. Saya coba pendekatan lain dengan keilmuwan. Ya, salah satunya baca buku tentang sosiologi ini.

Menarik!

Ternyata semua prediksi di buku itu terbukti. Teori-teori yang dijelaskan, hampir tepat karena saya menjumpainya.

Sebermula dari teori kebutuhan maslow yang kemudian bisa dihubungkan dengan kelas sosial dan terbaca konflik yang akan ditimbulkan.

Kalo lantang di ceritakan, sebetulnya masalah di masyarakat perumahan bersubsidi sebagian besar tidak jauh dari aspek fisiologis (kebutuhan fisiologis yakni kebutuhan untuk mempertahankan hidupnya secara fisik : terutama uang). Karena masih berpikir di aspek ini, maka orang-orang tersebut tidak akan malu melakukan hal yang menurut saya norak. Karena bagaimanapun manusia harus bertahan apapaun caranya. Memang nyerempet ke aspek kedua, kebutuhan akan rasa aman. Rasa aman disini lebih kepada kebutuhan secara psikis yang mengancam kondisi kejiwaan seperti tidak diejek, tidak direndahkan, tidak stres, dan lain sebagainya (karena mereka sebagian besar tidak mempunyai pekerjaan tetap dan rutin -- tapi habis dengan gaya hidup sekarang, akibat medsos, yang ingin diakui: baik secara fisik maupun secara pemikiran).

Nah, demikian sekilas cerita. Nanti kita lanjutkan, sambil membaca bukunya. Untuk menemukan fakta-fakta menarik berikutnya.

--

Intinya: jika menemukan masalah, jangan cepat patah, carilah referensi untuk menyelesaikannya, referensi bisa buku, guru, atau yang lainnya. Jika mentok, tanyalah hati nurani yang pasti akan selalu menunjukkan tentang kebenaran. Jika hati nurani mentok, berserah dirilah ke Alloh SWT. Karena itu adalah bentuk kesadaran kita sebagai manusia yang mempunyai keterbatasan di hadapan sang pencipta. 

Yakin ada jalan!

(rikigana)

Rabu, 16 September 2020

Tentang Masyarakat

Gegara saya lebih aktif di masyarakat, maka saya coba cari keilmuan (buku) dasar tentang konsep tersebut. Pendekatan pertama adalah belajar tentang ilmu Sosiologi (ilmu yang dulu di SMA dipelajari sekilas, seolah-olah hanya sebagi pelengkap, dan karir yang akan dicapai adalah menjadi guru -- belajar untuk nanti diajari). Sesempit itu dulu saya memandang sosiologi. 

Eh, barangkali juga tergantung guru ya, terbukti, saya menyukai sejarah, karena guru dari SMP sampe SMA selalu menarik dalam menyampaikan materinya. Ini membekas, sampai saya sudah kuliah di teknik dan lulus pun, hasrat akan sejarah tetap terpatri. Beda dengan sosiologi, yang dulu hanya sekilas, dan kemudian gurunya pun 'asal' menyampaikan. Alhasil, walau saya terhitung menyenangi organisasi, menyenangi bermasyarakat, tapi cenderung mengenyampingkan keilmuan sosiologi, malah lebih kearah manajerial.

Baik, kita tak berpanjang kata dalam hal ini. Saya hanya ingin mencoba meringkas dari satu referensi terkait kaitannya antara kepribadian dan kebudayaan.

Ini berkaitan dengan kondisi yang ada di lingkungan masyarakat perumahan saya, yang cenderung heterogen (SARA) tapi masih dalam kelas sosial 'masyarakat subsidi'. Potensi konflik terbuka lebar; dari yang soft sampai ke semi hard. 

Setelah saya baca-baca, ternyata memang ada aspek yang harus dipahami, terutama latar belakang kebudayaan yang berkaitan dengan kepribadian (kepribadian dan kebudayaan).


Kebudayaan (menurut Selo Soemarjan) adalah semua hasil karya, rasa dan cipta masyarakat.

Karya masyarakat menghasilkan teknologi dan kebudayaan kebendaan atau jasmaniah (material culture). 

Rasa meliputi jiwa manusia (misal: agama, ideologi, kebatinan, kesenian dan semua unsur yang merupakan hasil ekspresi dari jiwa manusia yang hidup sebagai anggota masyarakat. 

Cipta merupakan kemampuan mental, kemampuan berpikir dari orang-orang yang hidup bermasyarakat dan yang antara lain menghasilkan filsafat serta ilmu pengetahuan, baik yang berwujud teori murni, maupun yang telah disusun untuk langsung diamalkan dalam kehidupan masyarakat. Rasa dan Cipta dinamakan pula kebudayaan rohaniah (spritual atau immaterial culture).

Semua karya, rasa dan cipta dikuasai oleh karsa dari orang-orang yang menentukan kegunaannya agar sesuai dengan kepentingan sebahagian besar atau dengan seluruh masyarakat.

Individu dan perilakunya dipengaruhi oleh kebudayaan & masyarakat, yang nanti akan berpengaruh pula pada kepribadiannya.

Uraian berikut coba menjelaskan secara umum kenapa terjadi demikian (ini saya sarikan dari buku pengantar sosiologi: soerjono Soekamto):

1). Kebudayaan2 khusus atas dasar faktor kedaerahan; Asal-usul dari daerah mana seseorang akan berpengaruh pada pola kehidupannya, termasuk kebudayaan-kebudayaan yang melekat didirinya.  

2). Cara hidup di kota dan di desa yang berbeda (urban dan rural ways of life). Coba lihat anak-anak dikota lebih berani menonjolkan diri dibandingkan dengan anak-anak dari pedesaan.

3). Kebudayaan khusus kelas sosial; Didalam setiap masyarakat akan dijumpai lapisan-lapisan sosial oleh karena setiap masyarakat mempunyai sikap menghargai yang tertentu terhadap bidang-bidang kehidupan yang tertentu pula. Masing-masing kelas sosial tersebut dengan kebudayaannya masing-masing menghasilkan kepribadian yang berbeda pula dalam diri anggota-anggotanya.

4). Kebudayaan khusus atas dasar agama; agama juga mempunyai pengaruh yang besar untuk membentuk kepribadian seorang individu. Adanya mazhab tertentu juga membuat berbeda-beda kepribadian.

5). Pekerjaan atau keahlian juga mempengaruhi kepribadian seseorang.

Intinya: kita perlu menyesuaikan dan membuat sesuatu yang pas dengan kondisi yang ada berdasarkan referensi yang kita dapatkan tersebut.

(rikigana)

Selasa, 15 September 2020

Update CV

Sebagai pengingat, saya akan tuliskan disini.

Mulai Selasa, 15 September 2020, saya resmi mengajar (dosen) di Politeknik Krakatau Cilegon. Mata kuliah yang diampu adalah pengantar teknologi Bahan - jurusan Teknik Mesin (sesuai keilmuan S1 di Metalurgi Material).

Lainnya: ngajar (guru) di SMKS Pelayaran Nusantara Serang, dengan Mata Pelajaran Sejarah Indonesia di kelas X Nautik & Teknika (sesuai kehobian akan sejarah)

Selanjutnya: Sambil menunggu wisuda, rencana kembali di UNTIRTA, mata kuliah yang di ampu "Studi Kebantenan" (sesuai dengan komunitas yang saya bangun di bawah PT Anu Kula Ghana : komunitas Sajarah Banten).

Sambil nunggu corona, walau sudah dalam titik jenuh, aktifitas ini sementara menyelamatkan kewarasan. Walau sekedar online, atau daring, tanpa jalan-jalan, lumayan untuk selalu mengaktifkan otak agar berpikir.

Kedepan?

Kita lihat saja, apa yang Alloh gariskan untuk kehidupan saya -- disamping tentunya berusaha yang tiada habisnya.

Masih banyak lahan kretifitas dan pekerjaan untuk diraih dan dilalui. 

Yang terpenting, jangan diam.

(rikigana)

Masih Corona

Terkadang saya tertegun : saya kira, cepat atau lambat, manusia di indonesia akan terkena corona. Tinggal bagaimana kita menjalani seleksi ini. Perihal ada yang kuat -- itu bagus. Perihal ada yang meninggal -- itu sudah menjadi bagian dari takdirnya.

orang sudah sangat bosan. Bosan dengan segala sesuatu yang terjadi. Apalagi tak ada formula ampuh untuk menaklukan pandemi ini. Vaksin masih lama. Upaya pencegahan di negara indonesia pun tak sebanding dengan yang dilakukan negara lain: misal tiongkok.

Tarik ulur kebijakan membuat lelah. Disisi lain ekonomi harus berjalan, terutama ekonomi keluarga.

Bantuan / stimulus pemerintah banyak di gelontorkan. Tapi, saya rasa itu akan bertahan sebentar. Betul menaikan nilai beli masyarakat. Tapi, mau sampai kapan? dan sumber dana dari mana? Ah.. memang bukan pikiran kita, biarkan orang-orang bergaji besar tersebut yang memikirkan.


Senin, 07 September 2020

SETAN DETAIL

"Setan-nya ada di detail"

Meminjam ungkapan dalam 'meeting-meeting' penyusunan konsep manajerial, bahwa deviasi konsep sering terjadi pada aspek detail (pelaksanaan).

Sedini pengalaman saya; fakta dilapangan banyaknya demikian.

Termasuk mengenai covid ini, jangan jauh-jauh, di Banten. Konsep keseluruhan 'diatas kertas' sangat mantap, luar biasa!  Cerita preventif sampe 'agak' represif sudah sangat sangat komplit. Termasuk baru-baru ini meningkatkan status seluruh Kab/Kota menjadi PSBB, dan mulai melakukan sanksi-sanksi.

Tapi, apa lacur, alih-alih ditaati dan disadari, malah banyak yang 'mencueki'. Coba cek foto-foto saat pendaftaran calon kada di Banten. Apakah menerapkan konsep utuh penanganan covid?! Beribu orang berkumpul, berdempetan dan banyak yang tidak memakai masker. Apakah ber 'physical distancing'?

Ini baru pendaftaran, masih banyak rangkaian kegiatan yang memicu berkumpul ribuan orang. 

Sekolah masih dilarang, pabrik/kantor di batasi, pasar/mal selalu di nyinyiri, eh.. tetiba rombongan budal. 

Setan memang mahluk yang paling gampang untuk disalahkan. 😀

Selasa, 01 September 2020

Misteri Usia

Awal september, masih cerah.

Bangun tidur, seperti biasa, saya buka hp, sudah banyak notif, biasanya saya screen mana yg penting dan mana yang tidak -- cukup baca sekilas.

Agak kaget, saat baca beberapa grup sejenis (kampus, alumni, dan yang terkait), disebutkan turut berbela sungkawa. Biasanya tidak terlalu kaget, karena yang diberi ucapan semisal hanya kerabat terdekatnya, tapi ini agak beda, justru yang diberi ucapan adalah orang yang tergabung di grup tersebut. Kagetnya lagi, orang tersebut siangnya masih eksis dan tak menunjukkan tanda-tanda kesakitan ataupun mau meninggal. 

Beliau masih muda (42 tahun), meninggalkan 5 anak, 1 istri. Beliau aktif ; umumnya dilingkungan kampus yang merupakan tempat kerjanya. Beliau banyak teman (termasuk lingkaran saya), karena pada lingkaran organisasi yang sama, maupun kesukuan yang sama.

Kaget?

Ya, lagi-lagi saya kaget. Walaupun sudah menjadi pengetahuan bersama, bahwa umur itu bersifat rahasia. Tapi, tetap terkaget-kaget dan kadang masih tidak percaya.

Beda hal, kalau sakit lama, atau kecelakaan. Tanda-tanda dan sebab musababnya begitu kentara. Ini? Sungguh tiba-tiba!

Asumsi yang beredar: jantung. Karena satu-satunya penyakit dadakan yang bisa langsung mematikan adalah si jantung ini, dengan segala rentetannya. 

Banyak hikmah kalo ingin kita dalami. Peringatan bagi yang banyak melakukan hal sia-sia (barangkali saya salah satunya). Bahwa didunia hanya sementara. Bahwa sesungguhnya nyawa bisa dicabut kapan saja. Tidak peduli dalam kondisi apapun. 

Para pemuka agama selalu mengingatkan : sebisa mungkin kita berdoa agar meninggal pada kondisi khusnul kotimah. Walau agak sulit, menjaga konsistensi di area itu. Karena, cara terbaik adalah menjalaninya dengan riang.

Hah, luar biasa. Kaget yang biasa diluar. Karena kadang logika saya berkata kita yang muda akan diberi umur panjang.

Tapi, siapa yang tau ketentuan Nya. 

(rikigana)