Minggu, 13 Februari 2022

CATATAN INSINYUR (1)

--

Cayut: “Bah, ari insinyur eta neon?”

Abah: “Ngising na hunyur, Ceng!”

Cayut: “oh, horeng......”

--

GELAR

Dengan keluarnya UU No 11 tahun 2014 tentang Keinsinyuran dan PP no 25 tahun 2019 tentang peraturan pelaksanaan UU nomor 11 tahun 2014, secara umum segala hal yang menyangkut keinsinyuran akan ditertibkan (contoh: tentang gelar, tentang praktek keinsinyuran, dll). Hal ini tentu membawa konsekuensi; paling mendasar adalah ‘pemutihan’ bagi yang sudah duluan menyandang dan melakukan praktek keinsinyuran.

Kuliah PSPPI Unika Atmajaya 2022

Karena banyak orang yang cenderung menggunakan label insinyur untuk keren-kerenan, mari kita bahas GELAR INSINYUR terlebih dahulu!

Dulu, gelar insinyur merupakan gelar akademik, sampai dengan tahun 1993-1994 lulusan teknik dan pertanian bergelar akademik insinyur dan ditulis di depan nama orang tersebut (contoh: Ir. Cayut). Setelah itu, melalui Keputusan Mendikbud RI No.36/U/1993 tentang Gelar dan Sebutan Lulusan Perguruan Tinggi, semua sarjana lulusan teknik berubah menjadi ST dan pertanian berubah menjadi SP (dengan dibarengi pengurangan beban SKS yang sebelumnya 160 menjadi 144 SKS).

Kemudian, seiring waktu dan kebutuhan, PII (Persatuan Insinyur Indonesia yang didirikan pada tahun 1952) sebagai organisasi tempat berhimpun ‘para insinyur’ mengeluarkan gelar profesi insinyur untuk para sarjana teknik/pertanian ; walaupun, secara ‘pengakuan’ gelar ini hanya berlaku dan dipergunakan dalam kegiatan-kegiatan organisasi keinsinyuran dan yang terkait (tidak melekat seperti gelar akademis).

Saat itu, anggota PII yang sudah mengikuti KPP (kursus Pembinaan Profesi) berhak untuk menyandang gelar profesi Ir sebagai pengganti ST ataupun SP. Selanjutnya, PII pun mengeluarkan Sertifikat Insinyur Profesional (SIP) – beda dengan SKA (surat keterangan Ahli dari bidang tertentu). SIP terdiri dari tiga tingkatan, sesuai dengan tingkat kompetensi yang didasarkan pada portofolio pengalaman kerja keinsinyuran. Tiga tingkatan tersebut adalah Insinyur Profesioal Pratama (IPP), Insinyur Profesional Madya (IPM) dan Insinyur Profesioal Utama (IPU).  Artinya, jika seseorang ST/SP anggota PII telah mengikuti KPP dan menyelesaikan proses SIP, maka dia berhak menyandang gelar profesi insinyur dan insinyur profesional dalam namanya (Contoh: Ir. Cayut, IPP).

Pada tahun 2003, disahkanlah UU SISDIKNAS No 20/2003. Pasal 21 menyatakan, gelar profesi hanya diberikan oleh perguruan tinggi (PT). UU DIKTI No 12/2012 pasal 24, lebih lengkap menyebutkan bahwa program profesi sebagai pendidikan tambahan untuk sarjana, diselenggarakan oleh Perguruan Tinggi yang bekerja sama dengan organisasi profesi.

Berdasarkan latar belakang ini, guna link and match (dalam gelar, salah satunya) PII mendorong lahirnya UU Keinsinyuran secara utuh.

Tahun 2014, tepatnya tanggal 22 Maret, secara resmi disyahkanlah Undang-undang No. 11 Tahun 2014 tentang Keinsinyuran. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan bahwa hanya perguruan tinggilah yang secara hukum mempunyai kewenangan untuk menyelenggarakan program profesi insinyur (PPI) dan memberikan gelar insinyur (berlaku seumur hidup). Sedangkan gelar Insinyur professional (IP) tetap dikelola dan diberikan oleh asosiasi profesi, dalam hal ini PII (berlaku 5 tahun). Untuk memperjelas UU keinsinyuran tersebut, pada tahun 2019 dibuatlah PP No 25 tahun 2019 tentang Peraturan Pelaksanaan UU No 11 tahun 2014. Salah satu isinya menjelaskan tentang mekanisme pengambilan kuliah profesi Insinyur (BAB III).

Jadi, saat ini, jika sesorang ingin bergelar profesi insinyur, maka dia harus lulus terlebih dahulu ST/SP/STr, lalu dia menempuh Program Profesi Insinyur pada Perguruan Tinggi yang diberi kewenangan, setelah selesai dia berhak bergelar akademik ST/SP/STr dan bergelar profesi Insinyur (Contoh: Contoh: Ir. Cayut, S.T., IPP).

Nah, terus untuk apa ambil profesi insinyur, dan bagaimana nasib yang sudah duluan berpraktek insiyur sebelum keluarnya UU dan PP ini?!

Nanti kita bahas lagi kapan-kapan! (wkwkwkw....)

______

Riki Gana Suyatna

Ketua Umum Forum Insinyur Muda Banten 2016-2018

PPI RPL Unika Atmajaya 2022


Sabtu, 05 Februari 2022

OM-ICRON

[Catatan Juma'ahan (2)] 

Saya terlambat. Gegara coba 'hunting' mesjid (disekitaran tempat kegiatan) yang belum pernah disambangi. Jum'atan sudah memasuki sesi khotbah. Tapi belum lama. Masih kebagian jatah untuk mendengarkan. Temanya tentang sesuatu yang lagi 'happening' : omicron. 

 Arahnya memang kebaca, pembicaraannya persis dengan topik yang seliweran di medsos -- ada apa dibalik isu omicron dan kenapa virus ini kembali 'massive' saat mendekati ramadhan. Terlepas dari isinya, saya mengapresiasi khotib, beliau sudah menyampaikan sesuatu yang 'relate' dengan isu umat hari ini (tidak sekedar surga, neraka, halal, haram). Walaupun, tetap sajkesan yang tersampaikan justru skeptis (baca: nyinyir) akan keadaan; tidak ada informasi baru yang mencerahkan. 

Hanya.... 

Dipikir-pikir, betul juga. Kondisi saat ini sungguh kebetulan yang 'membagongkan'. Memuluskan praduga yang dilontarkan; mempertebal keyakinan terhadap opini publik kelas bawah. Prediksi di tivi pagi tadi, perkiraan puncak omicron terjadi di maret-april 2022. Kok bisa? Itukan momen ramadhan dan idul fitri. Loh kok?! Omicron kan tidak datang tiba-tiba, sudah ada info jauh-jauh hari. Omicron juga melewati hari-hari besar lainnya. Kenapa tidak ada antisipasi! Kenapa tidak dikendalikan dengan mulus! Sehingga tidak perlu lagi repot ada 'puncak-puncakan'! Tidak perlu memberikan celah untuk kelompok tertentu memanfaatkan momen (yang dikaitkan dengan isu agama dan sosial -- drama pelarangan mudik)! Bukannya pemerintah sudah terbiasa menangani covid! Bukannya vaksin diyakini menciptakan 'herd imunity'! Loh kok? Jangan-jangan betul kata teori konspirasi! Betul juga yang dikatakan khotib tadi! Loh kok? Kok saya jadi 'esmosi,' ya. Wkwkwk.... 

Baiklah, saya mencoba bijak, bahwa negara sebesar Indonesia tentu tidak mudah me-manage-nya. Jangankan negara, di lingkungan masyarakat kecil saja begitu; dilingkungan rumah (bersubsidi), saya terlibat di mesjid, rt dan rw. Terbukti masih banyak biasnya daripada 'smooth'nya. Apalagi diera kebebasan internet saat ini (kemampuan literasi tidak sebanding dengan kecepatan informasi). Tentu, kita jangan samakan Indonesia dengan negara komunis yang kuat --dengan satu komando satu perbuatannya. Jangan juga samakan dengan negara liberal yang kuat --dengan menyerahkan semua pada kebebasan yang bertanggung jawab ('well educated'). Tidak 'aple-to-apple'. Dalam penanganan covid ini, rantai komando kita lebar dimana-mana. Pun perlu kita sadari, dalam teori manajemen, setan itu selalu didetail pelaksanaan. Konsep bagus, rantai komando lemah, niscaya jauh panggang daripada api. 

Nah, terus apa yang perlu kita lakukan? Bersikaplah secukupnya! Jangan berlebihan. Selow-selow saja. Biarkan kondisi diluar rame. Kita mah 'enjoy-enjoy' saja. Kalo kata 'paman' dibaduy mah, kunci terhindar dari covid itu sederhana: "dahar seubeuh, imah pageuh, usaha ngeureuyeuh, pamikiran ulah riweuh, jeung pastikeun pamajikan kudu reuneuh!" 😀 

__ 

Serang, 4 Feb 2022 

Riki Gana Suyatna