Minggu, 12 November 2023

Emosi Jalanan

Selama saya aktif berkendara, terhitung ada tiga kali kejadian mengenakan.

Di motor, sempat ditabrak orang.

Di mobil brio, juga ditabrak bis sampai ringsek.

Saya lupa tepatnya kapan (waktu terjadinya). Alhamdulilahnya, selamat dan tak pernah cedera parah.

Sebetulnya yang bikin emosi bukan sebab cederanya, tapi terkadang perilaku pengendaranya tersebut: mohon maaf, cenderung barbar dan banyaknya seperti orang yang tak makan bangku sekolahan.

Ngotot ..

Marah ..

Nada tinggi, dan selalu dusun kata-katanya.

Saya paham: karena mereka takut disalahkan. Dan kenyataannya memang salah, dan takbisa di elakan.

Sayangnya saya pun pemarah (masih kebawa budaya jawara banten kidul). Dalam dua kejadian diatas, saya balik marah dan merasa diatas angin. 

Ikut ngotot juga

Ikut bentak-bentak juga

Ikut marah juga

Yang akhirnya cape juga, hanya ngerasa puas yang semu. Gak dapet apa-apa. Ujungnya ya masuk asuransi juga. Ujungnya orang-orang itu gak mampu bayar/ganti juga. Kebetulan secara ekonomi saya paham orang-orang tersebut sebagai pencari receh.

Sebagai orang yang lebih tinggi dari mereka. Kadang dihati kecil mengakuinya. Hanya yang disayangkan, perilaku buruk tidak membuat mereka sadar diri. 

Gaya jalanan, asal bentak, cara mereka menyelesaikannya. Masalahnya ketemu dengan saya yang memang berangasan juga. Akhirnya, jadi eker-ekeran.

Saya selesaikan sendiri. Tanpa ada bantuan orang lain. Ujungnya yang sana jadi takut dan menciut.

Itu dua cerita dulu.

Ada yang terbaru, dikejadian ketiga.

Baru terjadi sekitar tengah malam lalu, saat antri isi bensin.

Posisi bareng keluarga (istri dan anak yag kecil).

Posisi tengah malam, di rest area balaraja, tukang bensin sendirian. 

Antri panjang. Saya di posisi depan. 

Maju ternyata kelewat (mobil saya lewat ke pompa pertalite -- saya isinya pertamax). Agak sedikit ngantuk, saya kurang baca petunjuknya. 

Diminta muter lagi untuk ke antrian belakang.

Saya mengikutinya.

Disaat akan masuk pompa pertamax, ada jeda satu mobil yang belum masuk (dia sedang main hp, tidak melihat kode dari kita bahwa kita akan masuk). Karena kita mau isi pertamax, maka masuklah kita ke pompa pertamax (melewati mobil tadi yang mau antri pertalite). 

Setelah diposisi mau masuk. Tiba-tiba mobil dibelakang nyerobot dan klakson berkali-kali (nyolot).

Saya masih ingat, mobil itu agya dengan plat no A 1249 RT (saya kira mungkin grab).

Dia ngomong kencang, menantang, saya mula-mula santai, kemudian kepancing.

Dia turun banting pintu dan nyamperin kita. Sebetulnya saya sudah begitu kesal, dan mau dijabanin. Bawaan ud emosi. Siap adu fisik (sejauh itu kadar intelektual jadi hilang, haha ..).

Kebetulan plat no kita B, dia A jadi ngerasa dia yang kuasa dan paling jawara (dia gak sadar saya pun sebetulnya orang banten). Saya belum nanya dan menjelaskan apa-apa, tiba2 dia nyamperin ke pintu saya nyetir.

Saya sudah siap buka pintu, cuma istri mengingatkan. Istri bilang mungkin itu orang gila. Selama dia hanya ngomel, dan tidak melakukan tindakan fisik (baik ke mobil atau keorang -- yang dia banting tadi mobil dia sendiri), ya kata istri di biarkan saja. Capek-capek meladeni orang begitu.

Tumben, saya menuruti omongan istri, sebetulnya jiwa jawara sudah mendidih, rasa-rasanya (walau dia badannya lebih besar), masih keukur dan bisa menaklukan dengan sekali pukulan. Percuma belajar cimande dan kanuragan ti lembur. Hehe...

Masa orang banten kidul di beginikan...

Tapi istri lebih rasional. Walau saya merasa harga diri di injak-injak. Sekali lagi sebagai orang banten kidul yang turunan jawara. Akhirnya saya pun menuruti omongan istri. Apalagi udah bawa-bawa maslah pendidikan dan moral. Walau tidak puas saya biarkan.

Tapi mungkin kalo nyentuh mobil atau pegang badan, sy udah gak kepikiran untuk sabar. 

Itu juga masih kepikiran ada anak di belakang. 

Andai saya turun, malu juga dilihat banyak orang.

Singkat cerita, orang itu masih mengomel (walau keras tapi tidak menggunakan kata kotor, hanya provokasi: sini keluar, sini keluar!)

Kemudian, petugas pom datang, mempersilakan kita untuk ngisi di pompa sebelahnya. Artinya mungkin mereka juga menyadari bahwa tak perlu meladeni oramg seperti itu.

Saya pindah pom.

Yang menarik justru kemudian ada mobil dibelakang kita: bapak2 dari pelatnya orang sumatra.

Keliatannya bersimpatik pada kita, karena dia pun bawa keluarga. Dia melihat mungkin tadi orang itu banting pintu mobilnya dan nyamperin kita sambil bentak-bentak.

Akhirnya bapak2 itu, dan nyamperin si yang agya tersebut. Dia omelin orang itu. Di ajak tanding duel sambil di kata-katain kotor.

Sesuai dugaan si agya tadi hanya balas ngomel. Ketika mereka adu badan. Gada yang beneran jotosan.

Satu sisi saya greget. Satu sisi saya merasa lucu: serasa nonton bapak-bapak yang adu omong seperti arisan, ditonton oleh banyak orang.

Akhirnya saya turun, dan ujungnya ketawa. 

Saya sudah duga. Si agya itu orangnya begitu. Untung istri mengingtkan. Andai saya beneran terprovokasi. Bisa jadi tontonan orang lain dan ada yang memviralkan. (Tanpa tau duduk permasalahnnya). Sebuah hal sia2.Hahaha... Bisa hancur reputasi.

Saya sudah tidak mengikuti. Mereka berbalas-balasan kata2 umpatan.

Saya lanjutkan perjalanan.

Serunya, dijalan ketemu lagi dengan si agya ini. Dia jadi salting, saat iring-iringan dia berhenti, kemudian jalan lagi, saya berasumsi dia mengira bahwa kita sedang mengintimidasi dengan cara nguntit dia.

Karena plat kita B, asumsi dia kita akan keluar di balaraja atau sekitarnya. 

Nyatanya kita keluar di pintu tol yang sama dengan dia (serang timur). Otomatis kita bisa posisi didepan dia, atau dia yang ada di belakang kita. Secepat-cepatnya agya dan jalurnya sama, ya pasti kesusul sama kita.

Sempat terbersit ingin ngeberhentiin dan mau nanya yang sebenernya. Lagi-lagi istri mengingatkan. Agar jangan diladeni. Satu sisi takut orang nekat. Sisi lain bikin riweuh sendiri. Manjang2 pikiran tidak produktif. Kalo ngikuti emosi, saya masih gendek, sejagoan apa orang tersebut. Sepengaruh apa. Istri mengingatkan: mungkin dia tukang grab yang ga dapat2 penumpang sedangkan aslinya dikejar2 utang. Makanya bisa nekat.

Saya mengiyakan. Sampai kita ke serang timur. Walau beriringan, tapi tidak kejadian sampai saya turun.

Terlihat memang dia agak kaget. Terbukti ketika sampai cikande, tiba-tiba dia berhenti dan melambat. Mungkin berharapnya kita keluar dan dia lanjutkan perjalanan dan tidak ada jejak. Nyatanya kita 'seolah-olah' mengikuti dia sampai serang timur.

Saya masih kecewa, dan hampir terbersit pemikiran aneh. Misal: manggil temen2 polisi untuk nyegat (tetangga2 yang biasa nongkrong di pos dijam segitu), atau temen2 baragajul biar ngasih pelajaran. Tapi, ternyata saya sudah beda, alhamdulilah bertambah umur agak lebih bijaksana.

Saya pikir: mungkin saya juga ada salahnya. Komunikasi tidak clear, sehingga timbul salah paham.

Akhirnya semua berakhir seperti itu. Walaupun emosi tidak terpuaskan, tapi semua sudah terlewati dengan baik.

Banyak pelajaran dari kejadian panjang yang tadi di ceritakan.

Intinya: lebih baik cari selamat. 

Tapi jika memang kita terdesak, tidak mengapa kita melakukan tindakan. Asal jangan yang duluan. 

Kalo hany verbal kita abaikan. Kalo sudah fisik (sebaiknya rekam). Untuk bukti ke polisi sebagai laporan. 

Jika kita balas fisik, ya tidak mengapa sebagai upaya pembelaan. Jika tidak pun kita menghindar menjauh. Dua kondisi tadi harus di akhiri dikantor polisi: jika terjadi.

Jangan lagi pakai cara jawara. 

Tariklah ke sisi hukum. Apalagi saya dan istri yang sama-sama kuliah hukum.

Jalanan menciptakan kondisi yang tidak stabil. Ditambah motif ekonomi yang mendesak. Sehingga, kita perlu awas dan wasapada. Akan apa yang terjadi: selalu siapkan antisipasinya!

Demikian,

Bandung, 12 Nov 2023

(Riki Gana)