Selasa, 29 Juni 2021

ABUYA DIMYATHI PANDEGLANG: PERISTIWA SEKITAR PEMILU TAHUN 1977


Banten adalah sebuah wilayah yang dikenal memiliki sejarah yang panjang dan beragam. Banten juga dikenal sebagai wilayah yang religius dengan pengaruh keislaman yang sangat besar. Hal ini tidak lain adalah karena adanya peran ulama-ulama yang menyebarkan agama Islam di Banten.

Ulama merupakan suatu elit yang mempunyai kedudukan sangat terhormat dan berpengaruh besar terhadap perkembangan masyarakat Islam. Ulama yang sering juga disebut kiai (atau abuya dalam tingkatan tertentu) menjadi salah satu elit strategis dan merupakan figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam tentang ajaran Islam. Tidak mengherankan jika ulama kemudian menjadi sumber legimitasi dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh masyarakatnya. Dalam perkembangan kesejarahan Banten peran ulama sangatlah menentukan.

 

Peran ulama dimasyarakat Banten tidak hanya  dalam urusan agama saja, melainkan juga dalam ranah sosial dan politik. Sebagai tokoh agama, ulama biasanya bertindak sebagai pemimpin dalam aktifitas ibadah seperti shalat, khutbah, dan do’a dalam upacara-upacara keagamaan seperti tahlilan dan slametan dan lain sebagainya. Sebagai pelayan sosial, seringkali mereka bertindak sebagai tumpuan tempat masyarakat bertanya dan meminta nasihat mengenai berbagai persoalan, bahkan seringkali berperan sebagai tenaga medis, tempat meminta layanan penyembuhan berbagai penyakit lewat kekuatan supranatural atau magis yang mereka miliki. Sedangkan dalam dunia politik, mereka melakukan perannya yang terkait dengan kepentingan masyarakat secara umum, baik melalui partai politik langsung atau tidak langsung, organisasi-organisasi politik maupun lewat saluran-saluran lain yang bisa dilakukan.

Abuya Dimyathi (1920-2003) merupakan salah satu ulama berpengaruh di Banten sekaligus pemimpin Pondok Pesantren Cidahu, Kabupaten Pandeglang.

Sejak era penjajahan maupun awal kemerdekaan, Abuya Dimyathi adalah sosok yang gigih dan tanpa pamrih dalam berjuang. Tercatat abuya dimyathi pernah tergabung sebagai intelejen/mata-mata pada Front Tanagara (Tanagara merupakan nama daerah di cadasari, Pandeglang, banten). HM.Murtadhlo (anak kedua abuya Dimyathi) dalam buku “manaqib abuya cidahu’ menuturkan, abuya Dimyathi adalah orang yang mempunyai jiwa nasionalis dan patriotis yang tinggi, tak diragukan lagi cintanya akan Negara dan bangsa Indonesia, sampai sebelum wafat beliau sempat melantunkan lagu-lagu kebangsaan dan lagu perjuangan Negara republik indonesia.

Pada masa orde baru, menjelang pemilu 1977 ada peristiwa menarik yang melibatkan peran serta Abuya Dimyathi sebagai ulama di Pandeglang.

Pemilu 1977 merupakan ajang pemilihan umum kedua setelah sebelumnya dilakukan pada 1971 yang dimenangkan telak oleh Golkar (memantapkan posisi Soeharto sebagai presiden). Catatan sejarah penting dalam penyelenggaraan “pesta demokrasi” ini, adalah peleburan atau fusi partai politik (parpol) peserta pemilu. Pada pemilu 1971, terdapat 9 parpol dan 1 organisasi masyarakat (ormas) yang menjadi kontestan. Kemudian menjelang pemilu 1977 di fusi menjadi 3 kelompok.

Kelompok pertama (terhitung sejak 5 Januari 1973) adalah partai-partai politik berideologi Islam, yakni Partai Nahdlatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (Parmusi), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam PERTI yang melebur menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Kelompok kedua adalah kelompok nasionalis, plus dua partai agama non-Islam, yaitu Partai Nasional Indonesia (PNI), Partai Musyawarah Rakyat Banyak (Murba), Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI), Partai Kristen Indonesia (Parkindo), dan Partai Katolik yang melebur menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), terhitung sejak 10 Januari 1973. Di tengah-tengah dua kelompok itu, Golkar (tetap berstatus sebagai organisasi masyarakat) menjadi kelompok ketiga dan merupakan kendaraan politik Soeharto untuk melanggengkan kekuasaan (tirto,id).

Golkar menjelang pemilu 1977 melakukan intimidasi terhadap masyarakat Pandeglang (langsung maupun tidak langsung untuk memilih Golkar). Abuya Dimyathi selaku tokoh masyarakat merasakan ketidakadilan dalam hal ini. Melalui sikap kritisnya, Abuya Dimyathi menolak dengan mengatakan “Golkar bukanlah pemerintah, Golkar adalah peserta pemilu seperti PPP dan PDI. Jadi, tidak ada keharusan dari masyarakat Pandeglang untuk selalu memilih Golkar.”

Akibat perlawanannya tersebut, dalam historia.id, Hendra Tri Anggoro menyebut Abuya Dimyathi pun dianggap pemberontak, bahkan lebih ekstrim lagi dilabeli PKI. Abuya Dimyathi pun kemudian ditangkap pada 14 Maret 1977 dan ditahan penjara Pandeglang. Beliau divonis hukuman 6 tahun penjara di LP Pandeglang, meskipun kemudian beliau hanya menjalani hukuman selama 3 bulan 20 hari (karena santri dan jawara bersama masyarakat turun ke jalan untuk membebaskan Abuya Dimyathi. Saat itu digambarkan jalanan utama Kota Pandeglang, Banten, Jawa Barat, penuh dengan massa).

Juhdi Syarif, pengajar Program Studi Sastra Arab Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, seperti dikutip dalam historia.id menyimpulkan dalam disertasinya bahwa sebetulnya Abuya Dimyathi tidak berniat untuk melawan hegemoni orde baru, hanya berupaya menjernihkan persoalan seputar pemilu di masyarakat (karena ini menyangkut umat). Abuya Dimyathi bukan salah satu pendukung partai politik ataupun Golkar. Sebagai ulama, beliau menghindari politik praktis. Beliau tidak mengarahkan masyarakat harus memilih Golkar, PPP, ataupun PDI.

Menelaah paparan diatas, rasanya perlu penggalian lebih jauh tentang sepak terjang Abuya Dimyathi dalam peristiwa pemilu 1977 di Pandeglang tersebut. Apa yang membuat beliau begitu berani? Kegaliban saat itu, ulama cenderung bersikap kooperatif terhadap Pemerintah, bahkan di era awal-awal kemerdekaan (1945-1947), yang menjadi Bupati pandeglang adalah Abuya Abdul Halim Kadu Peusing, yang juga merupakan Guru dari mendiang Abuya Dimyathi.

wallahu a'lam…..

 

--------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Riki Gana

Komunitas Sajarah Banten

-----

Daftar Sumber (bibliografi)

·         https://historia.id/politik/articles diakses juni 2021

·         https://tirto.id/dl3V

·         Faridl, M. (2003). Peran Sosial Politik Kiai di Indonesia. Jurnal Mimbar. Vol. 19, No. 2, pp. 195-202.

·         HM.Murtadlo Dimyathi (2008). Manaqib Abuya Cidahu Dalam Pesona Langkah di dua Alam. Pandeglang: NP

·         Karomani. (2005). Ulama dan Jawara: Studi tentang Persepsi Ulama terhadap Jawara di Menes Banten Selatan. Jurnal Mediator. Vol. 6, No. 2, pp. 228-235

·         Juhdi Syarif (2018), Sikap Politik Abuya Dimyati Terhadap Kebijakan Pemerintah Orde Baru : kasus pemilu 1977 di Pandeglang Banten”. FIB UI

 


Sabtu, 26 Juni 2021

LUBANG BATUBARA

 Pas buka-buka file, jaman saya masih kerempeng & kuleuheu: tahun 2009, saya pernah 'aprak-aprakan' ke lubang-lubang tambang batubara (termasuk bekas para romusa dulu). 

 
Hasil penelitian ini selain untuk skripsi, juga masuk jurnal dan dipresentasikan di ITB, dalam Seminar Nasional Besi baja, Oktober 2009.
 
Karena basic saya teknik, maka kajiannya bukan tentang peristiwa sejarahnya. Tapi tak dinyana, karena hobi dan ketertarikan, akhirnya ada juga hubungannya. Haha...
 

 

Jumat, 25 Juni 2021

Romusa di Bayah -- Banten

Banten kaya akan sejarah. Mulai dari periodisasi praaksara sampai dengan reformasi. Selalu ada kisah masa lampau yang menarik untuk di gali. Tetapi kebanyakan fokus penggalian sejarah terpusat di periode Kesultanan Banten yang berlokasi di Kota Serang. Tak heran, jika referensi yang tersedia pun disekitar pembahasan tersebut.

Menurut laman kemendagri, yang diakses pada juni 2021, Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten, 4 kotamadya, 155 kecamatan, 313 kelurahan dan 1.238 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 10.382.590 jiwa dengan total luas wilayah 9.662,92 km² dan kepadatan 1.074 jiwa/km².

Salah satu daerah yang menarik untuk dikaji kesejarahannya yaitu Bayah, yang terletak di wilayah Banten bagian selatan berada di kabupaten Lebak.

Pada zaman penajajahan jepang, tercatat dalam sejarah, Bayah pernah diduduki, dimana dengan kekuasaannya Jepang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran. Sumber daya alam yang terkenal adalah batubara, dan untuk mengangkut batubara ini pada zaman penjajahan Jepang dibangun jalan kereta api dari Saketi ke Bayah yang berjarak sekitar 90 km. Pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran untuk bekerja paksa, dalam rangka membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan Jepang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945.

Hendri F Isnaeni dalam Kontroversi Sang Kolaborator hal.70, menyebutkan bahwa Banten merupakan daerah utama penerima romusa. Di antara 17 karesidenan dan 2 kerajaan di jawa, Banten memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya 129,33 orang per kilometer persegi, sementara rata-rata di Jawa adalah 315,63 orang per kilometer persegi. Daerah ini merupakan salah satu yang terbelakang di Jawa, sehingga disana jepang menemukan kemungkinan besar bagi perkembangan ekonomi. Perhatian besar terutama diberikan pada pembangunan wilayah selatan karesidenan ini. Salah satu diantaranya adalah pembangunan jalur kereta api sepanjang 150 kilimeter antara Saketi-Bayah. Jalur ini menghubungkan jalur kereta api yang sudah ada antara Labuan dan Jakarta dengan wilayah pantai selatan karesidenan tersebut dimana terdapat deposit tambang.

Jumlah romusa yang dikirim ke Bayah belum dapat dipastikan secara akurat, karena tidak ada catatan tertulis secara lengkap. Menurut Hendri F Isnaeni & Apid dalam Romusa: sejarah yang terlupakan, Pembangunan jalan kereta ini konon mengorbankan jiwa sekitar 93.000 orang romusa.

Romusa adalah sebuah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusa adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani untuk menjadi romusa. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah romusa tidak diketahui secara pasti—perkiraan berkisar antara 4 dan 10 juta (Wikipedia, diakses juni 2021).

Di Bayah juga pernah tinggal salah seorang tokoh pemikir republik yaitu Tan Malaka yang menyamar dengan nama Iljas Husein dan berperan besar dalam membantu para romusa.

Sampai sekarang sejarah romusa di pertambangan batu bara Bayah seolah dilupakan, mungkin karena dianggap sebagai sejarah hina dan tidak pantas dijadikan sebagai catatan sejarah bangsa. Atau mungkin saja ada unsur politik dari oknum tertentu sehingga keberadaannya ditutup-tutupi.

Peninggalan-peninggalan romusa nyaris tak bersisa seperti lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api yang terletak di kawasan pantai Pulau Manuk. Menurut Samsul Hadi dalam Menyusuri jejak romusha di Pulau manuk yag terbit dikompas, 7 agustus 2004, bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar. Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusa malah tidak ada tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai pulau Manuk, yang sering terhempas ombak ketika laut pasang. Selain itu, sumur romusa, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan jepang, kuburan romusa, makanan romusa, dan hal-hal lain yang berbau romusa seperti punah begitu saja. Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara jaman jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual. Sumur romusa, tempat para romusa mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusa, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah. Upacara peringatan romusa oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar seiring dengan meninggalnya para bekas romusa.

Kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi jaman sekarang. Sejarah romusa di pertambangan Bayah kini terancam hilang dari kenangan. Cerita tentang romusa di Bayah hanya ditandai dengan sebuah tugu dipinggir jalan yang kondisinya pun sangat memprihatinkan. Tidak terawat dan retak-retak. Seolah menunjukkan sebagai saksi bisu akan sesuatu genosida dipersimpangan kemerdekaan.

Sejarah romusa di pertambangan Bayah adalah sejarah lokal yang berskala nasional bahkan internasional. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah – jas merah,” begitu Bung Karno berujar.

(Riki Gana)

Komunitas Sajarah Banten

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber Bacaan:

Hendri F Isnaeni dan Apid, Romusha: Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta: Ombak, 2008.; Hendri F Isnaeni, Kontroversi Sang Kolaborator. Yogyakarta: Ombak, 2008; www.wikipedia.co.id; www. historia.co.id; www.kemendagri.co.id

Rabu, 16 Juni 2021

Lazy time

Juni ini waktu bermalas-malas: malas menulis tapi sebetulnya banyak aktifitas.

Setelah lebaran itu biasanya saya begitu. Memulainya lagi agak berat.

Banyak tema dari berbagai aktifitas: ngurus wisuda dan ijazah, istri lolos PJKN notaris, adik kena TBC, kelulusan sekolah, dal lain sebagainya.

Tapi tadi itu. Males.

Seperti saat ini juga, males.

Jadi cukup sekian dan terima kasih.

(rikigana)