Jumat, 21 Oktober 2022

MBAK NANA



(RELATE - UNRELATE)

Saya selalu ketinggalan info rame. Yang lagi trending. Yang lagi happening. Yang sebetulnya bisa digoreng dalam tanggapan berbentuk tulisan.

Sebetulnya kadang saya juga meninggalkannya, sengaja; satu sisi karena malas, lainnya untuk menghindari atensi yang berlebihan.

Ini bukan soal resesi 2023 atau mundurnya PM Inggris.

Ini menyoal perkataan mba Nana (Najwa Shihab), yang waktu itu sangat viral, tentang gaya mewah (oknum) polisi & keluarganya -- pada konteks kasus Pak Samba.

Dalam satu fragmen, mba Nana bicara (kurang lebih): "kita sebagai publik tahu dan bisa berhitung, berapa gaji mereka, tunjangannya, dll nya. Mereka kan pegawai pemerintah: mau Polisi, TNI, PNS, pegawai BUMN, BUMD, semua menggunakan uang rakyat, uang dari rakyat yang dibayar dari pengumpulan pajak-pajak masyarakat, dari kelas pengusaha kakap sampe kelas masyarakat bawah (misal: buruh tani). So, mereka tidak layak bergaya seperti itu, dapat uangnya dari mana? Aneh kan? bla-bla-bla...."

Sebetulnya saya setuju. Tapi, saya punya perspektif lain (secara umum), terutama dari latar belakang daerah kami;

Asal anda tahu, Mba Nana. Tidak semua yang jadi 'orang' itu awalnya dari keluarga seperti Mba Nana, yang lahir dari keluarga kaya-terdidik dan punya privilege.

Ungkapan anda sangat tidak relate dengan kami -- kaum urban pencari 'harta, kuasa, dan tahta'.

Kami adalah orang2 kampung di ujung barat pulau jawa, tepatnya agak 'belah' kidul (kalo dari skup wilayah provinsi). Kami adalah orang2 marjinal, yang dulunya tidak mendapatkan atensi lebih oleh lingkungan. Kami orang miskin, tidak berpengaruh, dan selalu menjadi objek orang-orang gedean.

Sebagian kecil dari kami adalah orang-orang kelas menengah keatas (untuk ukuran orang kampung). Yang juga harus mempertahankan gaya mewah kami. Untuk tetap diakui. Untuk tetap dihormati.

Mba Nana gak perlu heran.
Bagi kami yang (sebetulnya) pendapatannya pas-pasan, penghasilan tambahan (yang lebih besar) itu suatu keharusan. Tidak peduli dengan cara apapun. Mau ngempit mau ngutang, yang penting apa yang bisa kami mainkan, ya kami mainkan. Halal-haram itu soal kesekian. Setiap ada peluang, disitulah ada 'jalan'.

Mba Nana juga perlu tahu:
(saya akan bicara fenomena, bisa jadi ini fakta).

Menjadi pegawai negeri sipil, aparat polri-tni, pegawai pemerintah atau turunan2nya, merupakan cita-cita yang 'dipaksakan' orang tua di daerah kami; satu sisi sebagai jalur aman masa depan anak, satu sisi sebagai simbol pengakuan dimasyarakat.

Apakah salah? Tentu tidak (pada awalnya).
Mungkin agak kurang tepat. Karena bisa salah memahaminya. Terutama ketika timbul mindset yang mendorong hasrat untuk bermewah-mewahan (sebagai simbol kesuksesan). Yang mendorong orang untuk bersikap bablas, diluar kemampuannya.

Misal: diera medsos saat ini (dimana umumnya orang2 kampung kamipun maen sosial media), kami berkewajiban untuk update dengan gaya-gaya hedon, supaya dilihat oleh temen2 sekolah, tetangga2 di kampung, sodara2 jauh yang julid; status ini sangat penting bagi kami! Kami harus terlihat mewah! Kalo tidak, kami masih dianggap sebagai orang gagal..

Mba Nana juga pasti nggak tahu,
semenjak sekolah menengah dasar, kami sudah disuguhkan gaya-gayaan. Kami sengaja menciptakan kesenjangan. Biar jelas mana yang kelas bawah, mana yang kelas menengah keatas. Kami didukung oleh keluarga kami. Saat ada kenakalan remaja, sangat jarang kami melihat wujud kebijaksanaan dari para orang tua. Banyaknya kami didukung, untuk menjadi arogan: "Eta gagah! Anak Aing!".

Mba Nana...
Bagi kami, mendengar ungakapan: jika ingin menjadi pns, tni-polri, pegawai itu butuh sogokan, itu hal yang sangat lumrah! Dan biasa-biasa saja; biasa kami obrolkan di warung kopi, pos ronda, pasar, atau dipengajian2 desa/kampung.
Malah lebih ekstrim, kemampuan menyogok, menjadi sebuah kebanggaan para orang tua sebagai wujud 'kemampuan ekonomi' (sebagai pembeda dengan kelas lainnya).

Dilain sisi, Mba Nana...
Di daerah kami itu masih banyak generasi 'sandwich', yaitu kelompok usia dewasa yang harus menanggung hidup tiga generasi, yaitu orangtuanya, diri sendiri, dan anaknya. Tak jarang sandwich ini, juga harus menanggung hidup anggota keluarga besar lain, seperti saudara, baik dari pihak istri/ibu ataupun pihak ayah/suami.
Nah terus, uangnya dari mana..?!

Mba Nana...
Latar belakang sosiologis kami begitu kompleks. Untuk itu, demi kebaikan bersama, mending tarik ulang pernyataannya. Biarkanlah kami merajalela!

Saya rikigana, tidak siap DISOMASI!
😄🙏
___
Serang,
Jum'at, 21.10.022

Minggu, 02 Oktober 2022

TRAGEDI BOLA MALANG

 Waktu saya kecil, dikampung, menyaksikan orang gulet saat tarkam bola itu biasa. Polanya sama:  kalah, marah, provokasi, pendukung tawuran. Kadang berlanjut sampai tawuran antar kampung/desa. Malahan saya pernah menyaksikan, ada orang adu tarung pake golok, sampai bacok-bacokan. Tapi tak pernah ada yang meninggal. Selalu ada ujung yang baik, didamaikan oleh para tokoh (tetua) dan kemudian clear. Sangat sederhana. Tanpa pengamanan ekstra. Tanpa sistem dan tanpa  bla...bla...bla...


Skala besar, perputaran uang besar. Pasti ada standar. Pasti ada prosedur. Pasti ada sistem yang establish. Secara utuh. Tak mungkin ecek-ecek.


Saat ada tragedi dan kejadian luar biasa ini (menewaskan lebih dari 100 orang), saya yakin pasti ada keliru akut. Bukan sekedar human error.

Apakah itu? Hanya Tuhan dan mereka yang tau!

__

Turut berduka untuk tragedi di kanjuruhan Malang. Doa terbaik terpanjatkan untuk para korban. Aamiin YRA.