Rabu, 12 Juni 2019

Keluarga Cau Muli (1)


 
cau muli dari kebon belakang rumah

  
 Sudah sejak lama ingin menuliskan ini. Menuliskan tentang keluarga. Walau di cicil, mesti di tuliskan. Sebagai bentuk muhasabah atau petikan kehidupan. Minimal sebagai referensi anak cucu, barangkali tak sempat tersampaikan secara verbal dan utuh.

Baru selesai nonton film keluarga cemara – film baru yang di remark dari serial bersambung tempo dulu. Menginspirasi, terutama pada bagian-bagian kesusahan atau kemelaratan. Tepatnya bukan menginspirasi mungkin. Tapi ikut merasai. Karena kondisi inilah yang melekat pada kondisi periode tumbuh saya. Setidaknya yang melekat dalam ingatan adalah dari SD sampai dengan masa mulai bekerja setelah kuliah. Rentang waktu yang cukup panjang –hampir dalam 20 tahunan selalu dalam kesusahan, ketidakstabilan ekonomi dan ketertekanan sosial, ada bonus nya. Berpenyakitan ! (gynecomnastia di 2 payudara yang melekat semakin membesar dan tak pernah terpikir bagaimana cara menghilangkannya, karena butuh operasi dengan biaya sangatlah besar).

Inget sekarang, jadi syukur Alhamdulilah. Walau cita-cita dan ambisi masih belum tercapai. Tapi secara kebutuhan fisiologis up sudah mulai terpenuhi. Minimal makan sudah mulai bisa milih. Tidak lagi hanya nelan ludah ketika ‘kabita’ dengan menu masakan yang rada wah. Kesehatan pun sudah membaik dan ada jaminan. Sandang, pangan, dan sedikit papan sudah ada dan sudah merasai. Termasuk keluarga di kampung. Berangsur-angsur merasai apa yang dulu hanya di ingini.
Jika jujur, sebetulnya saya bukan keluarga balangsak. Bukan pula miskin struktural. Makan tidak kurang. Pakaian tak pernah compang-camping. Aset tanah ada. Kebun Punya. Jajan selalu ada. Biaya Sekolah selalu tersedia. Latar belakang turunan orang tua berada dari keduanya, plus cukup terpandang dan punya pengaruh. Hanya likuiditas yang selalu limit. Selalu riweuh dan merasa sangat miskin karena untuk memenuhi sesuatu sangatlah sulit dan perlu waktu. Tak pernah tenang dan merasa safe akan sesuatu.

Lantas?? ya kondisi miskin lebih kepada akibat kesalahan pengelolaan. Kesalahan Manajerial. Sekali lagi salah manajemen. Baik manajemen operasional. Manajemen keuangan dan tentu manajemen sumberdaya manusia nya. Kurang kompeten dan berbudaya instan. Tak pernah terpikirkan untuk mengelola dan memenuhi  kebutuhan tingkatan maslow. Lebih banyak kepada ngalir dan instan. Ya saat butuh, baru di usahakan. Itupun untuk kebutuhan yang penting dan mendesak. Bukan kebutuhan yang kadang selalu di sabodokeun.

Mungkin kita bicara lebih teknis. Saya akan jelaskan. Untuk apa? Saya tidak bermaksud menelanjangi aib keluarga sendiri. Tapi ini lebih kepada untuk pelajaran. Barangkali sebetulnya banyak kejadian di Indonesia – sebagai Negara berkembang, keluarga yang bernasib sama. Generasi pertama susah, kemudian dia berjuang untuk “MEMILIKI & MEMENUHI”, generasi kedua (karena masih di mentori oleh generasi pertama), tetap berjuang untuk mempertahankan apa yang dipunyai & dimiliki tapi pada generasi kedua sudah tidak lagi daya juang kesusahan, hanya sifat doktrinasi dari generasi pertama yang memang betul menjalaninya. Tiba pada generasi ketiga, ini yang agak sulit. Yang serba instan. Yang serba di cukupi semua kebutuhan. Dan gampang untuk pemenuhannya. Karena generasi kedua sudah tak lagi terpikir bagaimana susahnya memdapatkan apa yang di punyai dan di miliki tersebut. Sehingga melahirkan etos kerja yang kurang pada generasi ketiga.

Inilah yang terjadi, generasi ketiga mulai di manjakan. Tibalah pada saat menghabiskan apa yang di punyai dan di miliki. Terjadilah kekacauan. Ke semrawutan. Pada titik inilah aspek pengelolaan tak berjalan seperti seharusnya. Dan sayangnya, mungkin karena keterbatasan keluasan pikiran pada periode kemerdekaan ke orde baru dan tinggal di kampong. Generasi pertama dan kedua tidak berpikir untuk membekali dengan pendidikan umum. Atau skenerio yang terjadi lain. Di Paksa untuk berpendidikan umum, sang anak tak pernah serius karena biasa di manjakan. Dan yang lebih ekstrim di jaman itu malah di ajarkan untuk di aspek kejawaraan dan kegagahan bukan aspek pendidikan atau kewirausahaan sehingga bisa di tebak, gagaplah dia akan perkembangan zaman. Kacau. Bingung. Di satu sisi tertuntut untuk menjalani kehidupan, berkeluarga dan berketurunan.

Dan, habislah apa yang dipunyai dan di miliki. Timbulah konflik antar keluarga. Yang di sebabkan oleh rebutan harta benda di genrasi ketiga. Di perparah dengan generasi kedua mati muda. Saat generasi ketiga masih belum jejeg, utuh dan mulai amburadul.

Begitulah…..

Bapak adalah generasi ketiga tersebut. Ibu : bagian lain dari hal yang intinya sama.


--
Serang, 12 juni 2019
-rgs 

#part2 dari 'sabtu bersama bapak', akan dilanjutkan se-inginnya, untuk part berikutnya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar