Jumat, 25 Juni 2021

Romusa di Bayah -- Banten

Banten kaya akan sejarah. Mulai dari periodisasi praaksara sampai dengan reformasi. Selalu ada kisah masa lampau yang menarik untuk di gali. Tetapi kebanyakan fokus penggalian sejarah terpusat di periode Kesultanan Banten yang berlokasi di Kota Serang. Tak heran, jika referensi yang tersedia pun disekitar pembahasan tersebut.

Menurut laman kemendagri, yang diakses pada juni 2021, Provinsi Banten terdiri dari 4 kabupaten, 4 kotamadya, 155 kecamatan, 313 kelurahan dan 1.238 desa. Pada tahun 2017, jumlah penduduknya diperkirakan mencapai 10.382.590 jiwa dengan total luas wilayah 9.662,92 km² dan kepadatan 1.074 jiwa/km².

Salah satu daerah yang menarik untuk dikaji kesejarahannya yaitu Bayah, yang terletak di wilayah Banten bagian selatan berada di kabupaten Lebak.

Pada zaman penajajahan jepang, tercatat dalam sejarah, Bayah pernah diduduki, dimana dengan kekuasaannya Jepang mengeksploitasi sumber daya alam dan sumber daya manusia secara besar-besaran. Sumber daya alam yang terkenal adalah batubara, dan untuk mengangkut batubara ini pada zaman penjajahan Jepang dibangun jalan kereta api dari Saketi ke Bayah yang berjarak sekitar 90 km. Pengerahan tenaga kerja secara besar-besaran untuk bekerja paksa, dalam rangka membangun sarana dan prasarana untuk kepentingan Jepang berlangsung dari tahun 1942 sampai 1945.

Hendri F Isnaeni dalam Kontroversi Sang Kolaborator hal.70, menyebutkan bahwa Banten merupakan daerah utama penerima romusa. Di antara 17 karesidenan dan 2 kerajaan di jawa, Banten memiliki kepadatan penduduk yang paling rendah, hanya 129,33 orang per kilometer persegi, sementara rata-rata di Jawa adalah 315,63 orang per kilometer persegi. Daerah ini merupakan salah satu yang terbelakang di Jawa, sehingga disana jepang menemukan kemungkinan besar bagi perkembangan ekonomi. Perhatian besar terutama diberikan pada pembangunan wilayah selatan karesidenan ini. Salah satu diantaranya adalah pembangunan jalur kereta api sepanjang 150 kilimeter antara Saketi-Bayah. Jalur ini menghubungkan jalur kereta api yang sudah ada antara Labuan dan Jakarta dengan wilayah pantai selatan karesidenan tersebut dimana terdapat deposit tambang.

Jumlah romusa yang dikirim ke Bayah belum dapat dipastikan secara akurat, karena tidak ada catatan tertulis secara lengkap. Menurut Hendri F Isnaeni & Apid dalam Romusa: sejarah yang terlupakan, Pembangunan jalan kereta ini konon mengorbankan jiwa sekitar 93.000 orang romusa.

Romusa adalah sebuah panggilan bagi orang Indonesia yang dipekerjakan secara paksa pada masa penjajahan Jepang di Indonesia dari tahun 1942 hingga 1945. Kebanyakan romusa adalah petani, dan sejak Oktober 1943 pihak Jepang mewajibkan para petani untuk menjadi romusa. Mereka dikirim untuk bekerja di berbagai tempat di Indonesia serta Asia Tenggara. Jumlah romusa tidak diketahui secara pasti—perkiraan berkisar antara 4 dan 10 juta (Wikipedia, diakses juni 2021).

Di Bayah juga pernah tinggal salah seorang tokoh pemikir republik yaitu Tan Malaka yang menyamar dengan nama Iljas Husein dan berperan besar dalam membantu para romusa.

Sampai sekarang sejarah romusa di pertambangan batu bara Bayah seolah dilupakan, mungkin karena dianggap sebagai sejarah hina dan tidak pantas dijadikan sebagai catatan sejarah bangsa. Atau mungkin saja ada unsur politik dari oknum tertentu sehingga keberadaannya ditutup-tutupi.

Peninggalan-peninggalan romusa nyaris tak bersisa seperti lokasi stasiun, tempat parkir berbagai lokomotif kereta api yang terletak di kawasan pantai Pulau Manuk. Menurut Samsul Hadi dalam Menyusuri jejak romusha di Pulau manuk yag terbit dikompas, 7 agustus 2004, bekas stasiun itu hanya menyisakan pal-pal pondasi yang penuh rumput dan tanaman liar. Tidak jauh dari tempat itu, kuburan para romusa malah tidak ada tanda-tandanya. Kuburan itu hanyalah tanah kosong di sela-sela semak di pantai pulau Manuk, yang sering terhempas ombak ketika laut pasang. Selain itu, sumur romusa, stasiun kereta api, goa-goa bekas tambang batu bara di zaman penjajahan jepang, kuburan romusa, makanan romusa, dan hal-hal lain yang berbau romusa seperti punah begitu saja. Rel-rel kereta api untuk angkutan batu bara jaman jepang sudah habis diangkut tukang besi dan dijual. Sumur romusa, tempat para romusa mengambil air untuk minum yang terletak di lahan perkebunan, belakang SLTPN 1 bayah, kini tertutup tanaman liar. Jenis sayuran yang dahulu dikonsumsi para romusa, seperti sayur bunga karang, sayur ganggang laut, dan lodeh empot, sudah sulit didapat di Pasar Bayah. Upacara peringatan romusa oleh masyarakat setempat, berupa atraksi atau karnaval, pun sudah lama tidak digelar seiring dengan meninggalnya para bekas romusa.

Kini jejak-jejak kekejaman yang menewaskan ribuan rakyat Indonesia itu mulai terhapus oleh sikap acuh tak acuh generasi jaman sekarang. Sejarah romusa di pertambangan Bayah kini terancam hilang dari kenangan. Cerita tentang romusa di Bayah hanya ditandai dengan sebuah tugu dipinggir jalan yang kondisinya pun sangat memprihatinkan. Tidak terawat dan retak-retak. Seolah menunjukkan sebagai saksi bisu akan sesuatu genosida dipersimpangan kemerdekaan.

Sejarah romusa di pertambangan Bayah adalah sejarah lokal yang berskala nasional bahkan internasional. “Jangan sekali-kali melupakan sejarah – jas merah,” begitu Bung Karno berujar.

(Riki Gana)

Komunitas Sajarah Banten

------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

Sumber Bacaan:

Hendri F Isnaeni dan Apid, Romusha: Sejarah yang terlupakan. Yogyakarta: Ombak, 2008.; Hendri F Isnaeni, Kontroversi Sang Kolaborator. Yogyakarta: Ombak, 2008; www.wikipedia.co.id; www. historia.co.id; www.kemendagri.co.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar