Kamis, 02 September 2021

DKM

Terjun ke masyarakat pun akhirnya jadi mendalam. Tak bisa setengah-setengah. Susahnya jadi orang koleris yang kuat (kepemimpinan) sekaligus orang melankolis yang sempurna (keteraturan sistem). Melihat kondisi yang 'ngacak' mau tidak mau jadi tertantang untuk ikut membenahi. Ruwet? Memang. Bisa cuek saja? Bisa kalo memang seperti dulu yang hanya numpang tidur doang d rumah. Tapi, kalo saat ini ikut ngaji dimesjid, rasanya agak susah untuk membiarkan yang tidak pas didepan mata dengan kecuekan.
Lagi-lagi masalah leadership dan manajerial.
Klasik di RT,RW, artesis: ya, karena orangnya itu-itu saja.
Banyak egonya, kurang bijaknya, tapi ingin diakui dan eksis -- beberapa parah, memanfaatkan uang yang sedikit didalamnya.

Miris.

Sebelum lupa, saya akan bagi pikiran tentang ke DKM an.

1. Hendaknya pemilihan ketua DKM dilakukan secara musyawarah mufakat dalam forum khusus (jangan dipilih ala ala demokrasi one man one foot). Itu tidak tepat, karena kita tidak punya jaminan, yang terpilih sebagai yang paham akan nilai agama. Yang ada konflik kepentingan, membesarkan ego dan semakin jumawa.

2. Peserta pemilihan adalah ustadz dan tokoh-tokoh yang mumpuni.

3. Sebelum dilakukan pemilihan ketua, hendaknya dirumuskan visi dan misi dari DKM. Diciptakan garis besar program. Agar siapapun yang terpilih menjalankan program tersebut dan tetap didukung oleh semua pihak. Hakikatnya, ketua DKM itu nanti bergantian, karena orangnya itu-itu saja.

4. Sebaiknya ketua DKM jangan level ustadz yang berdakwah atau membimbing pengajian, agar terhindar dari urusan ruwet yang berkonflik. Agar mereka tetap fokus dalam urusan pendalaman agama dan pengajaran. Sebaiknya cukup ditunjuk bukan pada level ustadz yang mengajar, tapi yang ahli dalam manajerial.

5. Dalam hal ustadz yang ngajar ditunjuk menjadi ketua DKM, sebaiknya ditunjuk juga ketua harian yang memang urusannya dimasalah teknis. Kedudukan ketua DKM tetap menjadi ketokohan dan terjaga nilai agamanya.

Demikian, sadar atau tidak sadar, kita tinggal di Banten dengan kearifan lokal keagamaan yang kuat (daerah tengah dan selatan).

Strata tertinggi di Banten (pada level masyarakat umum tidak formal) tetap dipegang oleh ulama, kemudian disusul oleh jawara, pegawai, dan masyarakat biasa.

Praktik keagamaan lebih cenderung ke ASWAJA yang ke - Nu -an. Kyai-kyai 'kampung' dengan kitab kuning merupakan kearifan lokal pengakuan yang tinggi.

Jadi, mau tidak mau. Dikomplek yang heterogen ini harus tetap ada bentuk utuh, sebagai bahan pertimbangan untuk kedepan.

Terima kasih.

*Rikigana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar