Minggu, 14 Maret 2021

Asisten RT

Gampang-gampang susah kalo bicara ART (yang bantu-bantu di rumah).

Di jaman yang serba sibuk (suami - istri), tak sempat mengurus rumah dan memasak.

Saya sebetulnya agak kurang srek dengan adanya pembantu di rumah. Satu hal karena pekerjaan rumah bisa dikerjakan sendiri. Lainnya karena tak pernah ada standar jelas untuk pekerjaan ini: gajinya, skillnya, attitudenya, dll.

Tapi apa adaya, ternyata butuh juga. Pada satu titik, kita membutuhkan orang lain untuk mengerjakan sesuatu.

Sebagai orang sedikit introvert, saya tidak terlalu senang dengan kehadiran orang lain di rumah. 

Kami banyak berganti-ganti ART. 

Bukan sombong: hal ini bukan karena perlakuan kami, gaji oke, selow, makanan tak pernah dibedakan, status juga dianggap sama -- mengingat background keluarga kami yang dari kampung dan bukan orang yang kaya awalnya.

Tapi apa lacur. Attitude orang-orang yang bantu-bantu ini sangat jauh. Banyak dikecewakan. Selalu ada drama, yang dimulai pinjem uang, kemudian pulang ga balik lagi -- atau dia ga masuk-masuk.

Kami pernah coba pakai pembantu yang stay (nginep- ambil dari kampung halaman), juga pembantu yang pulang pergi (ambil dari kampung sebelah komplek). Nyatanya, rata-rata begitu.

Awal-awal rajin. Bulan selanjutnya mulai pinjem uang. Bulan selanjutnya ogah-ogahan (bagi yang stay, maen hape terus, bagi yang pulang pergi sering ga masuk dengan alasan keperluan keluarga).

Kami hanya bisa mengurut dada. Kami tidak biasa memarahi. Entah kenapa, sudah menjadi bawaaan, kadang empati berlebihan pada pemantu. Tetangga bilang itu dimanfaatkan. Tapi, ya susah, kami biarkan apa adanya.

Saya iseng telisik, kenapa rata2 pembantu begitu. Setidaknya 5-6 pembantu yang pernah kita rekrut (rata-rata usia 20 - 35 tahun).

Hasilnya menarik: suami merokok, tidak bekerja (atau kerja serabutan) dan tetap minta jatah rokok setiap hari; ambil kredit motor, dengan alasan transportasi dia dan suami, yang tentu tiap bulan harus dicicil; arisan di rumah, yang tiap bulan harus dibayar, nantinya untuk beli perlengkapan rumah; ada sebagian yang ambil bank keliling (rentenir), yang awalnya pinjem buat beli keinginan bukan kebutuhan; malah masalah makan, jajan anak, dan kebutuhan harian, tidak pernah menjadi alasan mereka untuk bekerja. Makan dikampung yang penting ada beras, beras rata-rata tersedia, entah ada keluarga yang nyawah, entah karena lingkungan yang selalu ngasih. 

Intinya: keinginan yang hedon, bukan untuk pemenuhan kebutuhan.

Kalo ditilik dari sosiologi, bisa di pahami: pendidikan maksimal smp, nikah muda, lingkungan peralihan dari yang tadinya biasa saja, kemudian tersentuh macam-macam tawaran gaya kota: motor, elektronik, dll.

Pilihan nya: nyambi jadi pembantu. 

Pikiran mereka, asal mau, toh juga mengerjakan pekerjaan sehari-hari. Ketemu majikan yang baik (bisa dimanfaatkan), minimal bisa pinjem uang untuk cicilan, syukur-syukur sampe 6 bulan, minimal 3 bulanlah, yang selanjutnya dia pergi untuk mencari majikan baru.

Agak kesel memang. Tapi, saya lebih tertarik pada fenomena sosiologinya. Secara umum, demikianlah masyarakat tingkat bawah diindonesia. 

Kita kadang terlalu kejauhan bicara tentang politik negara, tapi luput dari hal-hal sederhana.

Mereka hanya di jadikan objek oleh para politisi. Dijadikan hedon, dengan memperluas jurang keinginan, agar butuh dan jadi objek untuk pencoblosan.

Dilain sisi, pendidikan tak menjadi hal penting dan alternatif untuk berkembang.

Ini terjadi di Serang (yang merupakan Kota provinsi), maupun di malingping (notabenenya sebuah kecamatan kecil di kampung halaman).

Demian, setidaknya ini adalah pengalaman yang pernah saya rasakan.

(Rikigana)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar