Rabu, 28 April 2021

Urang Banten

Saya termasuk urang Banten, terutama banten kidul. Karena ada sedikit perbedaan antara banten kidul dan utara. Baik dari segi dialek, maupun tata perilakunya.

Banten kidul, dari dulunya memang lebih kental dengan kesundaannya (dari era pajajaran), banten utara kental kejawa cirebonnya (dari era keislaman kesultanan cirebon).

Tapi, ada satu persamaan yang mencolok: tradisi hadorotan, syahadat banten dan hal-hal yang kental dengan mistis religius.

Misal: tentang ziarah-ziarah ke tempat-tempat karomah, wisata-wisata religi dan semua hal yang masih dikaitkan dengan mistiknya. Menurut saya memang wajar, karena ada irisan antara dulu animisme dinamisme, hindu budha, dan terakhir islam.

Kebiasaan nenek moyang tidak serta merta di hilangkan. Dan itu tak boleh dihilangkan, sebagai kearifan lokal, budaya segmented.

Hanya, banyaknya orang yang mengaku orang banten, bersikap berlebihan. Kadar akan mistisnya yang di unggulkan. Bukan pelestarian sebagai budaya, di samping mengulik ilmu logis modern.

Sehingga, jika kita banyak bicara dengan masyarakat banten (terutama generasi tua), akan selalu bernostalgia dengan kemegahan yang di balut kemistisan. Misal: tentang penaklukan banten dari pajajaran karena sabung ayam.

Dilain sisi, generasi muda yang sekarang tersentuh modernisasi 4.0 (internet), banyak yang lupa dan melupakan budaya tersebut. Lebih gandrung dengan mode in yang lagi hits di media sosial. Lupa akan akar peradaban. Memandang kearifan lokal sebagai kenorakan.

Butuh jembatan untuk hal ini.

Untuk itu salah satu proyek idealis saya sebagai urang banten adalah jembatan.

Selamat berbuka puasa...

(Rikigana)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar